Page Nav

HIDE

Pages

Ads Place

https://www.uhamka.ac.id/reg

Menyelami Sejarah Panjang Penyusunan SKB 2 Menteri

Pada kegiatan Dialog Moderasi Beragama dalam Perspektif Lintas Agama dan Sosialisasi Surat Keputusan Bersama (SKB) Dua Menteri Tentang Pendi...


Pada kegiatan Dialog Moderasi Beragama dalam Perspektif Lintas Agama dan Sosialisasi Surat Keputusan Bersama (SKB) Dua Menteri Tentang Pendirian Rumah Ibadah  yang dilaksanakan oleh Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) di aula Kecamatan Mentaya Hilir Utara (MHU)  hari Rabu (3/9/2025), Ketua FKUB Kotim, H. Mudlofar memaparkan bahwa Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah yang dikenal juga dengan SKB 2 Menteri, disusun melalui proses dan diskusi yang panjang.

Secara historis SKB 2 menteri sudah ada sejak Era Orde Baru (1969 – 1979), yakni SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 01/1969 tentang pendirian rumah ibadah. Akan tetapi aturan ini dianggap terlalu ketat, karena memberi kewenangan besar kepada aparat pemerintah daerah tanpa mekanisme partisipasi masyarakat. Akibatnya, muncul ketidakpuasan dari berbagai umat beragama.

Kemudian pada Era Reformasi (1998 – 2000-an), dimana suasana reformasi membawa perubahan signifikan pada kebebasan beragama yang semakin terbuka, tetapi disisi lain konflik sosial berbasis agama juga meningkat, seperti contohnya konflik di Poso, Maluku, dan beberapa daerah lain. Pada saat itu, banyak kasus rumah ibadah ditolak atau bahkan dibakar karena dianggap tidak sesuai prosedur, sementara aturan lama dinilai tidak memadai untuk mengelola dinamika kerukunan di era reformasi.

Melihat perkembangan diatas, dimana konflik yang mengatasnamakan agama terus meningkat maka pada awal 2000-an, Pemerintah mencari formula baru untuk mengatur hubungan antarumat beragama yang lebih demokratis, tanpa mengabaikan stabilitas sosial.


Sehingga pada tahun 2000 – 2004, Pemerintah, khususnya Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri, melakukan evaluasi atas pelaksanaan SKB 1969 yang banyak menimbulkan pro dan kontra. Berbagai leading sektor dilibatkan dalam perumusan peraturan tersebut, seperti Kejaksaan, Menteri Hukum dan Ham, Kepolisian, akademisi, tokoh masyarakat dan berbagai pihak. Pemerintah juga melibatkan lembaga keagamaan, seperti: MUI, PGI, KWI, WALUBI, PHDI, dan Konferensi Waligereja Katolik untuk merumuskan secara bersama kebutuhan aturan baru. Diskusi tersebut menekankan perlunya keseimbangan: kebebasan beragama tetap dijamin, tetapi kerukunan antarumat beragama juga dipelihara.

Perumusan draft pun mulai dilakukan. Draft SKB disusun dengan memperhatikan prinsip: 1) Hak konstitusional beribadah; 2) Ketertiban umum; 3) Musyawarah melalui FKUB. Salah satu poin krusial adalah syarat minimal 90 pengguna rumah ibadah dan dukungan 60 orang masyarakat sekitar yang berbeda agama, serta rekomendasi FKUB.


Karena kepala daerah seringkali yang menghadapi langsung persoalan rumah ibadah, SKB memberi pedoman khusus agar keputusan mereka punya dasar hukum dan tidak menimbulkan diskriminasi.

Hingga tahun 2006, tepatnya pada 21 Maret 2006, ditetapkan SKB Menteri Agama No. 9/2006 dan Menteri Dalam Negeri No. 8/2006. Yang Isinya meliputi pedoman peran kepala daerah dalam menjaga kerukunan, pemberdayaan FKUB, dan tata cara pendirian rumah ibadah.

Ada beberapa esensi penting dari proses penyusunan SKB tersebut, dimana SKB ini lahir bukan hanya dari birokrasi, tetapi melalui proses dialog panjang antaragama. Dalam SKB tersebut Pemerintah mencoba mengakomodasi kepentingan kelompok agama mayoritas dan minoritas sekaligus menjaga ketertiban umum. Meski demikian, hingga saat ini aturan ini masih menuai kritik, terutama syarat administratif yang dianggap memberatkan kelompok agama minoritas.

Selain esensi tersebut, ada beberapa maksud dan tujuan dari SKB ini. SKB hadir karena dalam praktiknya pendirian rumah ibadah sering menimbulkan gesekan di masyarakat. Aturan ini dimaksudkan agar setiap umat beragama dapat menjalankan ibadah dengan tenang tanpa menimbulkan konflik sosial. SKB memberikan aturan prosedural yang seragam di seluruh Indonesia mengenai bagaimana rumah ibadah bisa didirikan, siapa yang berwenang, dan syarat apa saja yang diperlukan.

Dalam SKB juga menguatkan peran pemerintah daerah. Dimana Kepala daerah diberi pedoman agar tidak salah langkah dalam mengambil keputusan terkait perizinan rumah ibadah, serta diarahkan untuk lebih mengutamakan dialog dan musyawarah.

SKB juga dimaksudkan mengoptimalkan FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama). Dalam hal ini, FKUB diberi peran sebagai wadah musyawarah antarumat beragama di tingkat daerah untuk membantu memberikan rekomendasi terkait kerukunan, termasuk perizinan rumah ibadah.

Selain itu, sesuai UUD 1945 Pasal 29, setiap warga negara berhak beribadah menurut agamanya. SKB bertujuan agar hak ini terlindungi secara prosedural dan tidak mengganggu ketertiban umum. Dengan adanya persyaratan administratif (misalnya persetujuan jumlah minimal jemaat, dukungan masyarakat sekitar, serta rekomendasi FKUB), diharapkan potensi konflik antarumat beragama dapat ditekan. Aturan pendirian rumah ibadah diarahkan agar tidak sewenang-wenang, melainkan berdasarkan kesepakatan dan prosedur yang transparan. Dengan adanya SKB ini, kepastian hukum lebih terjamin. Yakni, SKB menjadi rujukan hukum bagi pemda, umat beragama, dan aparat keamanan ketika ada persoalan rumah ibadah. [Kz]

Tidak ada komentar

Ads Place