Pada kegiatan Dialog Moderasi Beragama dalam Perspektif Lintas Agama dan Sosialisasi Surat Keputusan Bersama (SKB) Dua Menteri Tentang Pendi...
Secara historis SKB 2 menteri sudah ada sejak Era Orde Baru
(1969 – 1979), yakni SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No.
01/1969 tentang pendirian rumah ibadah. Akan tetapi aturan ini dianggap
terlalu ketat, karena memberi kewenangan besar kepada aparat pemerintah daerah
tanpa mekanisme partisipasi masyarakat. Akibatnya, muncul ketidakpuasan dari
berbagai umat beragama.
Kemudian pada Era Reformasi (1998 – 2000-an), dimana suasana
reformasi membawa perubahan signifikan pada kebebasan beragama yang semakin
terbuka, tetapi disisi lain konflik sosial berbasis agama juga meningkat, seperti
contohnya konflik di Poso, Maluku, dan beberapa daerah lain. Pada saat itu, banyak
kasus rumah ibadah ditolak atau bahkan dibakar karena dianggap tidak sesuai
prosedur, sementara aturan lama dinilai tidak memadai untuk mengelola dinamika
kerukunan di era reformasi.
Melihat perkembangan diatas, dimana konflik yang
mengatasnamakan agama terus meningkat maka pada awal 2000-an, Pemerintah
mencari formula baru untuk mengatur hubungan antarumat beragama yang lebih
demokratis, tanpa mengabaikan stabilitas sosial.
Sehingga pada tahun 2000 – 2004, Pemerintah, khususnya Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri, melakukan evaluasi atas pelaksanaan SKB 1969 yang banyak menimbulkan pro dan kontra. Berbagai leading sektor dilibatkan dalam perumusan peraturan tersebut, seperti Kejaksaan, Menteri Hukum dan Ham, Kepolisian, akademisi, tokoh masyarakat dan berbagai pihak. Pemerintah juga melibatkan lembaga keagamaan, seperti: MUI, PGI, KWI, WALUBI, PHDI, dan Konferensi Waligereja Katolik untuk merumuskan secara bersama kebutuhan aturan baru. Diskusi tersebut menekankan perlunya keseimbangan: kebebasan beragama tetap dijamin, tetapi kerukunan antarumat beragama juga dipelihara.
Perumusan draft pun mulai dilakukan. Draft SKB disusun
dengan memperhatikan prinsip: 1) Hak konstitusional beribadah; 2) Ketertiban
umum; 3) Musyawarah melalui FKUB. Salah satu poin krusial adalah syarat
minimal 90 pengguna rumah ibadah dan dukungan 60 orang masyarakat
sekitar yang berbeda agama, serta rekomendasi FKUB.
Karena kepala daerah seringkali yang menghadapi langsung persoalan rumah ibadah, SKB memberi pedoman khusus agar keputusan mereka punya dasar hukum dan tidak menimbulkan diskriminasi.
Hingga tahun 2006, tepatnya pada 21 Maret 2006, ditetapkan SKB
Menteri Agama No. 9/2006 dan Menteri Dalam Negeri No. 8/2006. Yang Isinya
meliputi pedoman peran kepala daerah dalam menjaga kerukunan, pemberdayaan
FKUB, dan tata cara pendirian rumah ibadah.
Ada beberapa esensi penting dari
proses penyusunan SKB tersebut, dimana SKB ini lahir bukan hanya dari birokrasi,
tetapi melalui proses dialog panjang antaragama. Dalam SKB tersebut Pemerintah
mencoba mengakomodasi kepentingan kelompok agama mayoritas dan minoritas
sekaligus menjaga ketertiban umum. Meski demikian, hingga saat ini aturan ini masih
menuai kritik, terutama syarat administratif yang dianggap memberatkan kelompok
agama minoritas.
Selain esensi tersebut,
ada beberapa maksud dan tujuan dari SKB ini. SKB hadir karena dalam praktiknya
pendirian rumah ibadah sering menimbulkan gesekan di masyarakat. Aturan ini
dimaksudkan agar setiap umat beragama dapat menjalankan ibadah dengan tenang
tanpa menimbulkan konflik sosial. SKB memberikan aturan prosedural yang seragam
di seluruh Indonesia mengenai bagaimana rumah ibadah bisa didirikan, siapa yang
berwenang, dan syarat apa saja yang diperlukan.
Dalam SKB juga
menguatkan peran pemerintah daerah. Dimana Kepala daerah diberi pedoman agar
tidak salah langkah dalam mengambil keputusan terkait perizinan rumah ibadah,
serta diarahkan untuk lebih mengutamakan dialog dan musyawarah.
SKB juga dimaksudkan mengoptimalkan
FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama). Dalam hal ini, FKUB diberi peran sebagai
wadah musyawarah antarumat beragama di tingkat daerah untuk membantu memberikan
rekomendasi terkait kerukunan, termasuk perizinan rumah ibadah.
Selain itu, sesuai UUD
1945 Pasal 29, setiap warga negara berhak beribadah menurut agamanya. SKB
bertujuan agar hak ini terlindungi secara prosedural dan tidak mengganggu
ketertiban umum. Dengan adanya persyaratan administratif (misalnya persetujuan
jumlah minimal jemaat, dukungan masyarakat sekitar, serta rekomendasi FKUB),
diharapkan potensi konflik antarumat beragama dapat ditekan. Aturan pendirian
rumah ibadah diarahkan agar tidak sewenang-wenang, melainkan berdasarkan
kesepakatan dan prosedur yang transparan. Dengan adanya SKB ini, kepastian
hukum lebih terjamin. Yakni, SKB menjadi rujukan hukum bagi pemda, umat
beragama, dan aparat keamanan ketika ada persoalan rumah ibadah. [Kz]
Tidak ada komentar