Ilustrasi: Diaspora Politik Muhammadiyah (Sumber: Universitas Muhammadiyah Jakarta) Muhammmadiyah Dalam Percaturan Politik di Indonesia; T...
![]() |
| Ilustrasi: Diaspora Politik Muhammadiyah (Sumber: Universitas Muhammadiyah Jakarta) |
Muhammmadiyah
Dalam Percaturan Politik di Indonesia; Telaah Kritis dari Masa Pra Kemerdekaan
Hingga Pasca Reformasi
Oleh: Khilmi
Zuhroni
Muhammadiyah memainkan
peran politik yang konsisten sebagai kekuatan moral kebangsaan—bukan partai
politik—sejak masa pra-kemerdekaan hingga pasca-Reformasi, dengan pola
keterlibatan yang adaptif terhadap konteks, dari partisipasi kader dalam
Masyumi, peran kunci di PPKI 18 Agustus 1945, hingga artikulasi “khittah” yang
menegaskan jarak dari politik praktis namun aktif memengaruhi kebijakan publik
dan demokratisasi.
Latar Historis Dan Fondasi Gagasan
Didirikan pada 18
November 1912 oleh K.H. Ahmad Dahlan, Muhammadiyah tumbuh sebagai gerakan Islam
modernis yang memprioritaskan tajdid, pendidikan, dan amal sosial, yang sejak
awal beririsan dengan arus kebangsaan dan politik etis kolonial melalui jaringan
seperti Sarekat Islam.
Hubungan awal dengan
Sarekat Islam penting bagi ekspansi organisasi dan pembentukan orientasi
kebangsaan kader, tercermin dari kiprah Ahmad Dahlan di SI Yogyakarta (1913)
dan KH. Mas Mansur di SI Surabaya, yang mempertautkan dakwah, modernisasi, dan
kesadaran politik warga bumiputra.
Pra-kemerdekaan dan perumusan negara
Kontribusi paling
menentukan tampak pada momentum perumusan dasar negara: Ki Bagus Hadikusumo
dari Muhammadiyah berperan dalam kompromi historis pengubahan “tujuh kata”
Piagam Jakarta menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” pada 18 Agustus 1945 demi
keutuhan republik, melalui mediasi yang melibatkan Kasman Singodimedjo.
Keputusan tersebut
menjadi penanda etos politik Muhammadiyah: pengutamaan persatuan nasional di
atas kepentingan golongan, sembari meniscayakan tafsir religius yang inklusif
dalam kerangka Pancasila dan UUD 1945.
Era Masyumi: kanal politik umat
(1945–1959/60)
Setelah proklamasi,
Muhammadiyah menjadi “anggota istimewa” Masyumi (8 November 1945), menyalurkan
aspirasi politik Islam melalui partai yang memayungi kekuatan-kekuatan
modernis; porsi kader Muhammadiyah di PP Masyumi mencapai mayoritas pada
periode 1951–1954.
Dinamika hubungan
Muhammadiyah–Masyumi berpola “mesra” (1945–1955), “renggang” (1956–1959), dan
“akhir hubungan/penyelamatan” (1959), sebelum Muhammadiyah mundur dari
keanggotaan istimewa pada 1958, setahun jelang pembubaran Masyumi oleh Dekret
Presiden.
Pemilu 1955 dan konstelasi parlementer
Masyumi menempati posisi
kedua dalam Pemilu 1955 (20,9 persen), menegaskan kapasitas representasi
politik Islam modernis, termasuk kontribusi kader-kader Muhammadiyah pada
kerja-kerja legislasi dan kebijakan publik saat demokrasi parlementer.
Meski demikian, friksi internal partai dan konstelasi ideologis nasional memicu ketegangan, mendorong evaluasi di lingkungan Muhammadiyah terhadap efektivitas kanal partai dalam memperjuangkan agenda amar ma’ruf nahi munkar.


Tidak ada komentar