Page Nav

HIDE

Pages

Ads Place

https://www.uhamka.ac.id/reg

Kurikulum Berbasis Cinta, Perkuat Pemahaman Moderasi Beragama Lewat Pendidikan

Ilustrasi : Prof. Sarihon (sumber:www.serikatnews.com) Tangerang Selatan – Kementerian Agama tengah mengarusutamakan penerapan kurikulum ber...

Ilustrasi : Prof. Sarihon (sumber:www.serikatnews.com)

Tangerang Selatan – Kementerian Agama tengah mengarusutamakan penerapan kurikulum berbasis cinta dalam dunia pendidikan tinggi keagamaan. Konsep kurikulum ini diyakini mampu melahirkan generasi yang tidak hanya unggul dalam bidang intelektual, tetapi juga berakhlak mulia, peduli sesama, dan ramah lingkungan.

Hal tersebut disampaikan Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Kementerian Agama, Prof. Sahiron, dalam orasi ilmiah pada Sidang Senat Terbuka Wisuda Sarjana ke-26, Magister ke-19, dan Doktor ke-5 Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta. Acara digelar di Auditorium Universitas Terbuka Pamulang, Tangerang Selatan, Kamis (18/9/2025).

Menurut Guru Besar Ilmu Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta itu, gagasan kurikulum berbasis cinta berakar pada mahabbah lillah atau kecintaan kepada Allah. Nilai spiritual ini, kata dia, harus tercermin dalam keimanan, ketauhidan, serta kesadaran beribadah melalui dzikir dan husnudzan (berprasangka baik) kepada Tuhan.

“Mahabbah lillah akan melahirkan kecintaan kepada sesama manusia (mahabbah linnas) dan kecintaan kepada alam semesta (mahabbah lil ‘alamin),” ujar Sahiron.

Dalam paparannya, Sahiron menekankan bahwa pendidikan Islam sepatutnya tidak hanya berhenti pada penguasaan ilmu pengetahuan, melainkan juga menanamkan kasih sayang sebagai landasan etis dan moral. Dengan begitu, lulusan perguruan tinggi keagamaan tidak hanya menjadi insan yang cerdas secara akademik, tetapi juga memiliki kepedulian sosial dan tanggung jawab ekologis.

“Semangat cinta kepada Allah, manusia, dan alam harus menjadi landasan utama pendidikan di IIQ Jakarta. Kurikulum berbasis cinta ini akan melahirkan insan kamil yang utuh, berakhlak baik kepada Allah, sesama manusia, dan lingkungan,” tuturnya.


Konsep tersebut, lanjut Sahiron, juga sejalan dengan visi Kementerian Agama dalam mengarusutamakan moderasi beragama. Moderasi beragama sendiri selama ini diarahkan untuk menumbuhkan sikap toleransi, keadilan, dan keseimbangan dalam kehidupan masyarakat majemuk.

“Moderasi beragama dan kurikulum berbasis cinta bertujuan menjadikan manusia sebagai insan kamil, yang mampu hidup harmonis tanpa kehilangan identitas keagamaannya,” ujarnya.

Lebih jauh, Sahiron menegaskan bahwa lembaga pendidikan memiliki dua tugas pokok yang tidak dapat dipisahkan. Pertama, melakukan transfer ilmu pengetahuan dari dosen kepada mahasiswa dengan berbagai metode pembelajaran. Kedua, mengembangkan ilmu pengetahuan agar tetap relevan dengan dinamika dan tantangan zaman.

“Pendidikan tidak boleh berhenti hanya pada pengajaran. Ia harus bergerak ke arah pengembangan ilmu yang menjawab kebutuhan masyarakat, sekaligus menjaga nilai-nilai spiritual yang mendasarinya,” kata Sahiron.

Ia menambahkan, jika kedua fungsi tersebut berjalan beriringan dengan semangat cinta, maka pendidikan tinggi Islam akan semakin kontributif bagi pembangunan bangsa.

Respon Akademisi

Gagasan kurikulum berbasis cinta ini mendapat sambutan hangat dari kalangan akademisi. Rektor IIQ Jakarta, dalam sambutannya, menyatakan bahwa lembaga yang dipimpinnya siap menjadi pelopor penerapan nilai-nilai tersebut dalam kegiatan akademik maupun nonakademik.

“IIQ Jakarta sejak awal berdiri memiliki misi untuk melahirkan sarjana Qur’ani yang berilmu, beriman, dan berakhlak. Dengan penguatan kurikulum berbasis cinta, kami optimistis lulusan akan semakin relevan dengan kebutuhan masyarakat,” ujarnya.

Para mahasiswa yang mengikuti prosesi wisuda juga mengaku terinspirasi dengan pesan yang disampaikan. Mereka menilai bahwa konsep cinta dapat memberikan arah baru dalam proses belajar yang lebih humanis dan menenangkan.

Tantangan Zaman

Di tengah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kian pesat, dunia pendidikan menghadapi tantangan serius. Salah satunya adalah risiko terjadinya dehumanisasi, ketika kecanggihan teknologi justru menjauhkan manusia dari nilai-nilai kemanusiaan.

Dalam konteks ini, kurikulum berbasis cinta hadir sebagai alternatif yang menekankan keseimbangan antara rasionalitas, spiritualitas, dan moralitas. Menurut Sahiron, inilah jalan yang harus ditempuh agar pendidikan Islam tetap relevan sekaligus transformatif.

“Ilmu pengetahuan harus memberi manfaat, bukan sekadar menambah pengetahuan. Dengan cinta, ilmu akan mengarahkan manusia untuk membangun peradaban yang adil, damai, dan berkelanjutan,” pungkasnya.

Lulusan Sebagai Agen Perubahan

Wisuda kali ini melibatkan ratusan mahasiswa dari program sarjana, magister, hingga doktor. Mereka diharapkan tidak hanya menjadi akademisi atau praktisi yang kompeten, tetapi juga agen perubahan yang membawa nilai cinta dalam setiap lini kehidupan.

Kementerian Agama melalui Ditjen Pendidikan Islam juga berencana mendorong kolaborasi lintas perguruan tinggi untuk memperkuat kurikulum berbasis cinta. Kolaborasi itu meliputi riset, pengembangan modul pembelajaran, serta pelatihan bagi dosen dan tenaga pendidik.

“Cinta harus menjadi spirit bersama, bukan hanya jargon. Jika diterapkan secara konsisten, ia akan menjadi fondasi kuat dalam membangun pendidikan yang mencerahkan sekaligus membebaskan,” kata Sahiron.

Dengan demikian, arah baru pendidikan Islam yang ditawarkan Kementerian Agama ini diharapkan mampu melahirkan generasi yang tidak hanya piawai dalam ilmu pengetahuan, tetapi juga penuh kasih sayang, mampu merawat harmoni sosial, serta menjaga kelestarian alam.(Red)


Tidak ada komentar

Ads Place