Page Nav

HIDE

Pages

Ads Place

https://www.uhamka.ac.id/reg

Bambu: Si Hijau yang Bisa Menyelamatkan Bumi dari Krisis Iklim

Ilustrasi : Hutan Bambu Oleh: Redaksi Perubahan iklim semakin nyata di depan mata. Banjir, kekeringan panjang, suhu ekstrem, hingga kebaka...

Ilustrasi : Hutan Bambu

Oleh: Redaksi

Perubahan iklim semakin nyata di depan mata. Banjir, kekeringan panjang, suhu ekstrem, hingga kebakaran hutan bukan lagi sekadar berita jauh di negeri lain, melainkan ancaman sehari-hari bagi umat manusia. Di tengah kegelisahan global mencari solusi, muncul satu kandidat “pahlawan hijau” yang sering kali dianggap tanaman pinggiran: bambu.

Sebuah tinjauan ilmiah yang dipublikasikan di jurnal Climate (Pan dkk., 2023) menegaskan bahwa bambu memiliki potensi besar sebagai nature-based solution (NbS) untuk mitigasi perubahan iklim. Bambu bukan hanya tumbuhan yang cepat tumbuh, tetapi juga penyerap karbon andal, penyedia produk ramah lingkungan, sekaligus pemain baru dalam perdagangan karbon dunia.

 

Bambu, Rumput Raksasa dengan Superpower Karbon

Bambu sebenarnya bukan pohon, melainkan anggota keluarga rumput (Poaceae). Namun jangan remehkan: tinggi bisa mencapai lebih dari 20 meter, diameter batang seukuran lengan, dan yang lebih menakjubkan—pertumbuhannya bisa mencapai 1 meter dalam sehari.

Menurut penelitian, bambu mampu menyerap karbon dioksida (CO₂) dalam jumlah yang jauh lebih tinggi dibanding beberapa jenis hutan kayu. Contohnya, hutan bambu Moso di Tiongkok dapat menyerap 24,3 ton CO₂ per hektar per tahun, hampir dua kali lipat dibanding hutan Chinese fir dan empat kali lipat dibanding hutan pinus Masson.

Keunikan bambu adalah siklus panennya yang pendek, hanya 2–4 tahun, berbeda dengan pohon kayu yang umumnya 10–50 tahun. Artinya, bambu bisa dipanen berkali-kali tanpa kehilangan kemampuan menyerap karbon. Bahkan setelah batang dipotong, sistem akar dan rimpangnya tetap hidup, terus berfotosintesis, dan menyimpan karbon di tanah.

 

Produk Bambu: Dari Lantai hingga Beton Ramah Lingkungan

Tidak hanya di hutan, manfaat bambu juga terus berlanjut setelah dipanen. Batang bambu diolah menjadi berbagai produk: mulai dari papan lantai, furnitur, panel dinding, hingga material bangunan modern. Setiap produk bambu menyimpan karbon yang sudah diserap dari atmosfer selama tanaman tumbuh.

Lebih menarik lagi, banyak produk bambu ternyata memiliki jejak karbon negatif. Artinya, selama siklus hidupnya (dari panen, produksi, transportasi, hingga penggunaan), produk tersebut justru mengurangi emisi CO₂ dibanding bahan konvensional.

Contoh nyata datang dari life cycle analysis (LCA) di Eropa: lantai bambu dan panel bambu dari Tiongkok terbukti menyerap lebih banyak karbon dibanding emisi yang dikeluarkan selama produksi dan distribusi. Bahkan, rumah yang dibangun dengan bambu laminasi bisa menyimpan karbon lebih banyak daripada rumah beton atau bata, sekaligus mengurangi ketergantungan pada kayu hutan tropis yang kian menipis.

Selain itu, inovasi baru seperti “bio-concrete” dari serbuk bambu mulai dikembangkan sebagai alternatif semen—salah satu penyumbang emisi karbon terbesar di dunia. Dengan bahan tambahan bambu, beton ini lebih ringan, tahan lama, sekaligus ramah iklim.

 Perdagangan Karbon: Bambu Masuk Bursa Global

Di era transisi energi dan pasar karbon, bambu punya peluang menjadi “komoditas hijau” baru. Melalui proyek rehabilitasi hutan, reforestasi, atau pengelolaan bambu berkelanjutan, petani dan komunitas bisa menghasilkan kredit karbon yang kemudian diperjualbelikan di pasar global.

Salah satu contoh adalah proyek bambu di Tongshan, Tiongkok. Proyek ini mencakup 700 hektar lahan bambu dengan estimasi penyerapan 6.556 ton karbon per tahun. Selain keuntungan lingkungan, proyek ini juga mendatangkan manfaat ekonomi, seperti peningkatan pendapatan petani dari penjualan kredit karbon maupun hasil panen bambu.

Tak hanya di Asia, proyek bambu juga mulai bermunculan di Afrika, Amerika Latin, hingga Eropa. Di Italia, perusahaan pertanian Gaia SRL mengembangkan ribuan hektar bambu untuk tujuan aforestasi dan kredit karbon. Demikian pula di Afrika Selatan, Filipina, Ghana, dan Rwanda, bambu dimasukkan dalam proyek restorasi lanskap berskala besar.

Meski begitu, masih ada kendala. Beberapa skema internasional seperti REDD+ sempat enggan memasukkan bambu karena dianggap bukan “pohon sejati”. Padahal, dengan siklus panen yang berkelanjutan, bambu justru bisa lebih ramah lingkungan dibanding kayu hutan biasa.

 Faktor Alam dan Pengelolaan yang Menentukan

Tentu saja, kemampuan bambu menyerap karbon tidak datang begitu saja. Ia sangat dipengaruhi oleh iklim, tanah, dan cara pengelolaan.

  • Iklim ekstrem seperti banjir, kekeringan, dan badai salju bisa mengurangi kapasitas bambu menyerap karbon. Misalnya, kekeringan parah di Tiongkok tahun 2011 terbukti menurunkan produktivitas bambu Moso secara signifikan.
  • Tanah dan pupuk juga berperan. Pemberian mulsa organik atau arang bambu bisa meningkatkan kesuburan tanah sekaligus memperbesar cadangan karbon di dalamnya. Namun, pemupukan berlebihan justru bisa mengurangi simpanan karbon di tanah.
  • Pola panen penting diperhatikan. Panen moderat dan selektif terbukti meningkatkan stok karbon dibanding panen berlebihan atau tanpa panen sama sekali.

Dengan pengelolaan yang tepat, hutan bambu bisa menjadi ekosistem yang stabil, produktif, dan berkelanjutan, sekaligus menjadi penyelamat iklim.


 

Indonesia: Surga Bambu yang Belum Dimaksimalkan

Indonesia sendiri termasuk negara dengan kekayaan bambu melimpah. Dari Gigantochloa apus hingga Dendrocalamus asper, bambu tumbuh hampir di seluruh wilayah, terutama di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan.

Penelitian di Malang, Jawa Timur, misalnya, menunjukkan bahwa hutan bambu riparian dapat menyimpan hingga 215 ton karbon per hektar—angka yang sangat besar jika dibandingkan dengan jenis vegetasi lain.

Sayangnya, bambu di Indonesia sering masih dipandang sebelah mata: sekadar bahan kerajinan tangan atau pagar kebun. Padahal, dengan tata kelola yang baik, bambu bisa menjadi “mesin hijau” untuk mencapai target emisi nol bersih (net zero emission) pada 2060.


 

Tidak ada komentar

Ads Place