Ilustrasi : Hutan Bambu Oleh: Redaksi Perubahan iklim semakin nyata di depan mata. Banjir, kekeringan panjang, suhu ekstrem, hingga kebaka...
Ilustrasi : Hutan Bambu
Oleh: Redaksi
Perubahan iklim semakin nyata di depan mata. Banjir,
kekeringan panjang, suhu ekstrem, hingga kebakaran hutan bukan lagi sekadar
berita jauh di negeri lain, melainkan ancaman sehari-hari bagi umat manusia. Di
tengah kegelisahan global mencari solusi, muncul satu kandidat “pahlawan hijau”
yang sering kali dianggap tanaman pinggiran: bambu.
Sebuah tinjauan ilmiah yang dipublikasikan di jurnal Climate
(Pan dkk., 2023) menegaskan bahwa bambu memiliki potensi besar sebagai nature-based
solution (NbS) untuk mitigasi perubahan iklim. Bambu bukan hanya tumbuhan
yang cepat tumbuh, tetapi juga penyerap karbon andal, penyedia produk ramah
lingkungan, sekaligus pemain baru dalam perdagangan karbon dunia.
Bambu, Rumput Raksasa dengan Superpower Karbon
Bambu sebenarnya bukan pohon, melainkan anggota keluarga
rumput (Poaceae). Namun jangan remehkan: tinggi bisa mencapai lebih dari 20
meter, diameter batang seukuran lengan, dan yang lebih
menakjubkan—pertumbuhannya bisa mencapai 1 meter dalam sehari.
Menurut penelitian, bambu mampu menyerap karbon dioksida
(CO₂) dalam jumlah yang jauh lebih tinggi dibanding beberapa jenis hutan kayu.
Contohnya, hutan bambu Moso di Tiongkok dapat menyerap 24,3 ton CO₂
per hektar per tahun, hampir dua kali lipat dibanding hutan Chinese fir
dan empat kali lipat dibanding hutan pinus Masson.
Keunikan bambu adalah siklus panennya yang pendek, hanya 2–4
tahun, berbeda dengan pohon kayu yang umumnya 10–50 tahun. Artinya, bambu bisa
dipanen berkali-kali tanpa kehilangan kemampuan menyerap karbon. Bahkan setelah
batang dipotong, sistem akar dan rimpangnya tetap hidup, terus berfotosintesis,
dan menyimpan karbon di tanah.
Produk Bambu: Dari Lantai hingga Beton Ramah Lingkungan
Tidak hanya di hutan, manfaat bambu juga terus berlanjut
setelah dipanen. Batang bambu diolah menjadi berbagai produk: mulai dari papan
lantai, furnitur, panel dinding, hingga material bangunan modern. Setiap produk
bambu menyimpan karbon yang sudah diserap dari atmosfer selama tanaman tumbuh.
Lebih menarik lagi, banyak produk bambu ternyata memiliki
jejak karbon negatif. Artinya, selama siklus hidupnya (dari panen, produksi,
transportasi, hingga penggunaan), produk tersebut justru mengurangi emisi CO₂
dibanding bahan konvensional.
Contoh nyata datang dari life cycle analysis (LCA) di
Eropa: lantai bambu dan panel bambu dari Tiongkok terbukti menyerap lebih
banyak karbon dibanding emisi yang dikeluarkan selama produksi dan distribusi.
Bahkan, rumah yang dibangun dengan bambu laminasi bisa menyimpan karbon lebih
banyak daripada rumah beton atau bata, sekaligus mengurangi ketergantungan pada
kayu hutan tropis yang kian menipis.
Selain itu, inovasi baru seperti “bio-concrete” dari serbuk
bambu mulai dikembangkan sebagai alternatif semen—salah satu penyumbang emisi
karbon terbesar di dunia. Dengan bahan tambahan bambu, beton ini lebih ringan,
tahan lama, sekaligus ramah iklim.
Di era transisi energi dan pasar karbon, bambu punya peluang
menjadi “komoditas hijau” baru. Melalui proyek rehabilitasi hutan, reforestasi,
atau pengelolaan bambu berkelanjutan, petani dan komunitas bisa menghasilkan kredit
karbon yang kemudian diperjualbelikan di pasar global.
Salah satu contoh adalah proyek bambu di Tongshan, Tiongkok.
Proyek ini mencakup 700 hektar lahan bambu dengan estimasi penyerapan 6.556
ton karbon per tahun. Selain keuntungan lingkungan, proyek ini juga
mendatangkan manfaat ekonomi, seperti peningkatan pendapatan petani dari
penjualan kredit karbon maupun hasil panen bambu.
Tak hanya di Asia, proyek bambu juga mulai bermunculan di
Afrika, Amerika Latin, hingga Eropa. Di Italia, perusahaan pertanian Gaia SRL
mengembangkan ribuan hektar bambu untuk tujuan aforestasi dan kredit karbon.
Demikian pula di Afrika Selatan, Filipina, Ghana, dan Rwanda, bambu dimasukkan
dalam proyek restorasi lanskap berskala besar.
Meski begitu, masih ada kendala. Beberapa skema
internasional seperti REDD+ sempat enggan memasukkan bambu karena dianggap
bukan “pohon sejati”. Padahal, dengan siklus panen yang berkelanjutan, bambu
justru bisa lebih ramah lingkungan dibanding kayu hutan biasa.
Tentu saja, kemampuan bambu menyerap karbon tidak datang
begitu saja. Ia sangat dipengaruhi oleh iklim, tanah, dan cara pengelolaan.
- Iklim
ekstrem seperti banjir, kekeringan, dan badai salju bisa mengurangi
kapasitas bambu menyerap karbon. Misalnya, kekeringan parah di Tiongkok
tahun 2011 terbukti menurunkan produktivitas bambu Moso secara signifikan.
- Tanah
dan pupuk juga berperan. Pemberian mulsa organik atau arang bambu bisa
meningkatkan kesuburan tanah sekaligus memperbesar cadangan karbon di
dalamnya. Namun, pemupukan berlebihan justru bisa mengurangi simpanan
karbon di tanah.
- Pola
panen penting diperhatikan. Panen moderat dan selektif terbukti
meningkatkan stok karbon dibanding panen berlebihan atau tanpa panen sama
sekali.
Dengan pengelolaan yang tepat, hutan bambu bisa menjadi
ekosistem yang stabil, produktif, dan berkelanjutan, sekaligus menjadi
penyelamat iklim.
Indonesia: Surga Bambu yang Belum Dimaksimalkan
Indonesia sendiri termasuk negara dengan kekayaan bambu
melimpah. Dari Gigantochloa apus hingga Dendrocalamus asper,
bambu tumbuh hampir di seluruh wilayah, terutama di Jawa, Sumatera, dan
Kalimantan.
Penelitian di Malang, Jawa Timur, misalnya, menunjukkan
bahwa hutan bambu riparian dapat menyimpan hingga 215 ton karbon per hektar—angka
yang sangat besar jika dibandingkan dengan jenis vegetasi lain.
Sayangnya, bambu di Indonesia sering masih dipandang sebelah
mata: sekadar bahan kerajinan tangan atau pagar kebun. Padahal, dengan tata
kelola yang baik, bambu bisa menjadi “mesin hijau” untuk mencapai target emisi
nol bersih (net zero emission) pada 2060.
Tidak ada komentar