FOTO: Wakil Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid (Sumber: detikNes.com) JAKARTA – Bencana hidrometeorologi berupa banjir bandang dan tanah lo...
![]() |
| FOTO: Wakil Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid (Sumber: detikNes.com) |
JAKARTA – Bencana hidrometeorologi berupa banjir bandang dan
tanah longsor yang melanda tiga provinsi di Pulau Sumatera—Aceh, Sumatera
Utara, dan Sumatera Barat—dengan dampak korban jiwa mencapai ratusan dan
kerugian material yang masif, belum juga ditetapkan oleh Pemerintah Pusat
sebagai Bencana Nasional. Keputusan ini menuai kritik tajam dari berbagai
pihak, termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan sejumlah anggota Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), yang mendesak Presiden segera mengeluarkan status
tersebut.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian, menjadi
salah satu suara utama dari Pemerintah yang menjelaskan posisi ini. Menurut
Mendagri, meskipun status bencana nasional belum ditetapkan, perlakuan dan tindakan
penanganan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat sejak hari pertama sudah berada
pada skala nasional.
"Kalau untuk penetapan bencana nasional sementara
belum, tetapi perlakuannya sudah nasional. Dari hari pertama, Pemerintah Pusat
menilai sendiri bahwa harus turun, dan kemudian dari hari pertama sudah
dilakukan dengan prosedur nasional, jadi semua sudah all out," ujar
Tito. Ia menekankan bahwa yang terpenting adalah tindakan dan mobilisasi
kekuatan, bukan sekadar status. Seluruh kementerian dan lembaga terkait telah
digerakkan untuk menyalurkan logistik, alat berat, dan memastikan ketersediaan
kebutuhan dasar bagi para pengungsi.
Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg), Prasetyo Hadi, turut
memperkuat argumentasi tersebut. Ia menyatakan bahwa Pemerintah Pusat masih sanggup
mengatasi bencana tersebut dengan dukungan penuh kepada pemerintah daerah,
termasuk alokasi anggaran dan logistik. Pras juga menyebutkan bahwa status
tidak akan menghalangi penerimaan bantuan dari negara sahabat, karena hal itu
bisa dilakukan melalui instruksi presiden, seperti yang pernah terjadi pada
bencana sebelumnya.
Namun, data lapangan berbicara lain. Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat dampak bencana ini sangat luar biasa.
Data terakhir menunjukkan bahwa ratusan orang meninggal dunia dan ratusan
lainnya masih dinyatakan hilang. Total yang terdampak diperkirakan mencapai
jutaan jiwa, dengan ribuan rumah mengalami kerusakan berat, sedang, maupun
ringan, serta puluhan fasilitas publik seperti jembatan dan sekolah yang
lumpuh.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjadi salah satu lembaga
yang bersuara lantang. Mereka meminta Pemerintah tidak ragu menetapkan status
bencana nasional. Ketua Umum MUI, KH. Miftachul Akhyar, melalui keterangan
resminya, menilai cakupan dan intensitas bencana di tiga provinsi ini sudah
memenuhi kriteria untuk ditetapkan sebagai bencana nasional, sesuai amanat Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana Pasal 51, yang penentuannya
berada di tangan Presiden.
Desakan serupa datang dari anggota legislatif di Senayan.
Sejumlah anggota Komisi VIII DPR RI yang bermitra dengan BNPB, menilai skala
bencana ini, baik dari jumlah korban, cakupan luas wilayah, maupun kerusakan
infrastruktur, sudah sangat memerlukan payung hukum Bencana Nasional.
Abidin Fikri, Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, secara terbuka
meminta pemerintah segera menetapkan status bencana nasional, mengingat cakupan
dampak yang meluas.
Sebagaimana dilansir dari detikNews pada 3 Desember
2025, menurutnya, penetapan status bencana nasional akan membuka akses terhadap
mobilisasi sumber daya dan anggaran yang lebih besar dan terstruktur, menjamin
penanganan pemulihan pascabencana (rehabilitasi dan rekonstruksi) tidak
berlangsung parsial dan lambat. Kondisi saat ini, dengan sebagian besar wilayah
yang terisolasi dan kebutuhan logistik yang mendesak, memerlukan intervensi
yang benar-benar terpusat dan terkoordinasi secara optimal di bawah komando
Presiden.
Sementara itu, Wakil Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid, mengungkapkan
bahwa skalanya sudah tak lagi bersifat lokal. "Faktanya memang, selain
daripada jumlah korban yang sangat besar, tapi juga cakupan luas dan jenis
daripada kerusakan akibat [bencana] ini sangat luar biasa. Meliputi tiga
provinsi dan sekitarnya. Warga yang meninggal jumlahnya bertambah, yang belum
ditemukan juga masih sangat besar. Bahkan Gubernur Aceh mengatakan beberapa
desa hilang," ujarnya, dikutip dari detikNews (3/12/2025)
Di balik tarik-ulur status ini, muncul dugaan adanya
pertimbangan non-teknis, termasuk kekhawatiran Pemerintah terhadap persepsi
internasional jika status bencana nasional diterapkan secara luas. Mendagri
sempat menyinggung bahwa penetapan status tersebut dapat menciptakan persepsi
global bahwa seluruh wilayah Indonesia sedang menghadapi krisis, yang
berpotensi memengaruhi sektor pariwisata dan investasi.
Kendati demikian, para pengamat tata kelola bencana
memperingatkan bahwa tanpa status bencana nasional, pemulihan jangka panjang
wilayah yang terdampak parah, terutama di Aceh dan Sumatera Utara, berisiko berjalan
lamban dan timpang. Masyarakat dan korban di lokasi pengungsian berharap
Pemerintah tidak hanya fokus pada penanganan darurat, tetapi juga segera
menetapkan kebijakan strategis untuk tahap rehabilitasi dan rekonstruksi yang
membutuhkan anggaran dan koordinasi lintas sektor yang masif dan terpusat.
Bagaimana tanggapan Presiden terhadap desakan dari berbagai
elemen masyarakat dan politik ini akan menentukan nasib ratusan ribu korban di
Sumatera dan Aceh.[]


Tidak ada komentar