Page Nav

HIDE

Pages

Ads Place

https://www.uhamka.ac.id/reg

Menjadi Pemimpin Berkemajuan: Kader IPM Didorong Miliki Etika, Empati, dan Tanggung Jawab Sosial

Peserta dan Narasumber pada sesi foto bersama usai materi Kepemimpinan Sampit,— Memulai sesi ke dua pada Jumat malam (17/10/2025), tepat puk...

Peserta dan Narasumber pada sesi foto bersama usai materi Kepemimpinan

Sampit,— Memulai sesi ke dua pada Jumat malam (17/10/2025), tepat pukul 19.00, sesi materi tentang Kepemimpinan dimulai, menjadi salah satu inti dari rangkaian kegiatan Pelatihan Kader Taruna Melati 1 (PKTM 1) yang diselenggarakan oleh Pimpinan Ranting Ikatan Pelajar Muhammadiyah (PR IPM) SMK Muhammadiyah Sampit.

Narasumber malam itu, Khilmi Zuhroni, S.Fil.I., M.E., membuka paparannya dengan satu kalimat tegas yang menggugah: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” Hadis Rasulullah SAW yang dikutip dari riwayat Bukhari dan Muslim itu menjadi titik tolak bagi peserta untuk merenungkan makna kepemimpinan sejati dalam pandangan Islam.

Menurut Khilmi, kepemimpinan bukanlah soal posisi atau jabatan, melainkan soal tanggung jawab moral dan amanah spiritual. “Pemimpin itu bukan orang yang berdiri di depan untuk dilihat, tetapi orang yang berjalan bersama untuk menuntun. Ia tidak hanya memerintah, tapi menumbuhkan kesadaran bersama,” ujarnya di hadapan puluhan peserta yang tampak antusias mencatat setiap penjelasan.

Dalam paparannya, Khilmi menekankan bahwa kepemimpinan dalam perspektif Islam berakar pada konsep al-imāmah dan al-qiyādah — dua istilah Arab yang berarti menuntun, membimbing, dan mengarahkan menuju tujuan yang baik dan benar. Mengutip pandangan Imam al-Mawardi dalam Al-Ahkam al-Sulthaniyyah, ia menjelaskan bahwa kepemimpinan adalah “pengganti kenabian dalam menjaga agama dan mengatur urusan dunia.”

Narasumber sedang memberikan paparan materi Kepemimpinan

Sementara menurut Ibn Khaldun, lanjutnya, pemimpin sejati adalah yang mampu mengarahkan masyarakat untuk berpegang pada syariat demi kemaslahatan dunia dan akhirat. Dari dua pandangan klasik ini, Khilmi menarik satu benang merah: kepemimpinan adalah ibadah yang berorientasi pada kemaslahatan umat, bukan alat mencari kekuasaan.

“Bagi kader IPM, kepemimpinan bukan tentang siapa yang paling berani berbicara, tapi siapa yang paling siap berbuat. Pemimpin yang berkemajuan adalah mereka yang berilmu, berakhlak, dan memiliki empati sosial,” tutur alumnus Filsafat Islam itu.

Khilmi kemudian menguraikan konsep Kepemimpinan Berkemajuan sebagaimana dirumuskan oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof. Dr. Haedar Nashir. Menurutnya, pemimpin berkemajuan memiliki tiga karakter utama: liberatif (membebaskan), empowerment (memberdayakan), dan transformative (memajukan).

Karakter liberatif berarti pemimpin harus mampu membebaskan masyarakat dari kebodohan, kemiskinan, dan ketertinggalan, sebagaimana semangat QS Al-Ma’un. Sedangkan empowerment menuntut pemimpin agar menumbuhkan potensi kader, membuka ruang partisipasi, dan memperkuat kemandirian. Adapun transformative mengarahkan pemimpin untuk menjadi agen perubahan sosial yang berkeadilan dan berperadaban.

“Pemimpin IPM harus punya visi membebaskan diri dan lingkungannya dari ketidakberdayaan. Ia harus hadir membawa pencerahan, bukan sekadar memerintah,” kata Khilmi. Ia menegaskan bahwa nilai-nilai kepemimpinan tersebut sejalan dengan semangat Gerakan Pelajar Berkemajuan — gerakan yang berpijak pada tiga pilar: pencerdasan, pemberdayaan, dan pembebasan.

Dalam bagian berikutnya, Khilmi menyoroti bahwa kepemimpinan kader IPM berangkat dari kesadaran diri, bukan instruksi. “Kepemimpinan itu lahir dari kesediaan untuk tumbuh, bukan dari penunjukan. Seorang kader harus mengenali dirinya sebagai subjek perubahan — bukan objek yang menunggu perintah,” jelasnya.

Ia menggambarkan tiga dimensi penting dalam kepemimpinan kader IPM: Dimensi ontologis, bahwa kader adalah subjek perubahan; Dimensi epistemologis, yakni berpikir dengan “agama nalar” — integrasi antara wahyu dan akal; dan Dimensi aksiologis, yaitu kepemimpinan yang etis dan humanis.

Khilmi menambahkan, IPM harus melahirkan tiga model kepemimpinan pelajar: kepemimpinan sosial, spiritual, dan intelektual. Kepemimpinan sosial mendorong kader menjadi problem solver di masyarakat; kepemimpinan spiritual menanamkan nilai keikhlasan dan amanah; sedangkan kepemimpinan intelektual menguatkan tradisi berpikir kritis dan ilmiah.

“Ketiganya harus seimbang. Kader yang hanya pintar tanpa akhlak akan kehilangan arah, sementara yang hanya berakhlak tanpa ilmu akan kehilangan pijakan,” ujarnya disambut tepuk tangan peserta.

Menjelang akhir sesi, Khilmi mengajak peserta melakukan refleksi. Ia meminta setiap kader merenungkan peran dan tanggung jawabnya, baik di lingkungan sekolah maupun masyarakat. “Kepemimpinan adalah jalan pengabdian. Jangan tunggu menjadi besar untuk memimpin. Mulailah dari diri sendiri, dari hal kecil, dari sekarang,” ucapnya.

Para peserta tampak terinspirasi. Dalam diskusi penutup, beberapa di antara mereka menyampaikan pandangan dan pengalaman tentang kepemimpinan di lingkungan organisasi pelajar. Sesi yang berlangsung hingga pukul 20.30 itu ditutup dengan meneguhkan jati diri sebagai pelajar yang berilmu, berakhlak, dan siap menjadi pemimpin masa depan, sebagaimana tercermin dalam ayat sakral IPM “ Nun Walqalami Wama Yasturun”. (Elzam)

Tidak ada komentar

Ads Place