Sampit — Suasana khusyuk menyelimuti Masjid Al Mukhlisin, Universitas Muhammadiyah Sampit (UMSA), Rabu (24/9/2025) siang. Usai salat Zuhur b...
Kajian tersebut menghadirkan narasumber Ustadz Khilmi Zuhroni, mubaligh Muhammadiyah yang selama ini aktif mengampanyekan pentingnya pemahaman agama dalam konteks lingkungan hidup. Dengan gaya tutur yang lugas, ia menjelaskan betapa Muhammadiyah melalui Musyawarah Nasional Tarjih XXVIII tahun 2014 di Palembang telah merumuskan Fikih Air sebagai pedoman menyeluruh dalam pengelolaan, pemanfaatan, dan pelestarian air.
Krisis Air dan Jawaban Islam
“Air bukan sekadar urusan wudhu atau mandi janabah,” ujar Khilmi membuka paparannya. “Dalam pandangan Muhammadiyah, air adalah hak asasi manusia, hak hidup, dan juga amanah dari Allah yang harus kita jaga.”
Penegasan itu merujuk pada keputusan resmi Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang ditanfidzkan pada tahun 2015. Fikih Air menegaskan bahwa krisis air yang melanda dunia, termasuk Indonesia, tidak hanya persoalan teknis, melainkan masalah multidimensi yang menuntut pendekatan komprehensif.
Indonesia sebenarnya memiliki cadangan air tawar cukup besar, sekitar 6 persen dari total dunia. Namun, distribusi yang timpang, pencemaran sungai, kerusakan hutan, serta peningkatan kebutuhan akibat pertumbuhan penduduk membuat sejumlah wilayah justru mengalami kelangkaan air bersih. Data Kementerian Lingkungan Hidup menyebut, lebih dari 75 persen sungai di Indonesia sudah tercemar berat.
“Al-Quran menyebut kata ma’ (air) sebanyak 63 kali, dan itu menunjukkan urgensinya,” lanjut Khilmi. “Allah mengingatkan manusia untuk menjaga air sebagai sumber kehidupan, namun realitasnya justru kita eksploitatif dan abai.”
Muhammadiyah dan Fikih Air
Dalam dokumen resmi, Muhammadiyah mendefinisikan Fikih Air sebagai “sekumpulan nilai dasar, prinsip universal, dan norma implementatif bersumber dari Islam mengenai konsumsi, distribusi, konservasi, dan komersialisasi air.”
Khilmi menjelaskan bahwa ada tiga pilar utama yang dibangun Muhammadiyah dalam Fikih Air. Pertama, air adalah hak publik yang tidak boleh sepenuhnya diprivatisasi. “Sungai, danau, atau sumber mata air itu milik bersama. Tidak boleh dimonopoli,” katanya.
Kedua, air harus dikelola dengan prinsip keadilan dan keberlanjutan. Artinya, prioritas diberikan untuk kebutuhan pokok—seperti minum, sanitasi, dan ibadah—baru kemudian untuk pertanian, industri, atau kepentingan lain.
Ketiga, setiap individu dan masyarakat memiliki tanggung jawab moral untuk memelihara air. Penghematan penggunaan air, mengurangi pencemaran, hingga menjaga kelestarian hutan menjadi bagian dari amal saleh.
“Ketika Nabi melarang berlebihan memakai air meski di sungai yang mengalir, itu isyarat betapa Islam sejak awal mengajarkan konservasi,” kata Khilmi.
Dimensi Ibadah dan Sosial
Dalam kajian yang berlangsung hampir satu jam itu, Khilmi juga menekankan bahwa Fikih Air tidak hanya berkaitan dengan lingkungan, melainkan juga ibadah sehari-hari. Air yang suci dan menyucikan menjadi syarat sah wudhu dan mandi. Namun, Muhammadiyah memperluas cakupannya sehingga umat Islam juga dituntut memastikan air tetap layak, sehat, dan mudah diakses.
“Kalau kita wudhu dengan air yang tercemar limbah, apakah ibadah kita sah secara syariat? Bisa iya, tetapi secara moral kita sudah berdosa karena membiarkan sumber air rusak,” ujarnya.
Di sinilah Muhammadiyah mencoba menghadirkan fikih yang hidup, yang membumi, dan menjawab tantangan zaman. “Fikih Air adalah ikhtiar menjembatani teks dengan realitas. Jadi, beribadah kepada Allah juga berarti menjaga lingkungan.”
Khilmi menegaskan, tanggung jawab menjaga air tidak bisa hanya dibebankan pada negara. “Negara memang wajib menjamin ketersediaan air bersih. Tetapi kita, sebagai individu maupun institusi, punya peran masing-masing. Menghemat air, menanam pohon, atau sekadar tidak membuang limbah ke sungai, semuanya bagian dari ibadah,” katanya.
Relevansi dengan Kondisi Kotim
Kalimantan Tengah, termasuk Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) tempat UMSA berada, bukan tanpa masalah air. Meski dikenal kaya sumber daya alam, daerah ini kerap menghadapi persoalan kualitas air bersih, terutama di musim kemarau panjang.
Di Kotim, masyarakat di pedalaman sering kesulitan air minum layak, sementara di perkotaan justru menghadapi pencemaran akibat limbah rumah tangga dan industri. Fikih Air memberi kita kerangka berpikir untuk mencari solusi.
Menghidupkan Nilai Keagamaan
Menutup ceramahnya, Khilmi mengingatkan bahwa kesadaran menjaga air harus ditanamkan sejak dini. Pendidikan lingkungan, kata dia, sebaiknya masuk dalam kurikulum sekolah hingga pengajian di masjid. “Kalau anak-anak sudah terbiasa hemat air sejak kecil, generasi mendatang lebih siap menghadapi krisis,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa air bukan hanya komoditas ekonomi, tetapi juga simbol rahmat dan kehidupan. “Surga dalam Al-Quran digambarkan dengan sungai-sungai yang mengalir. Itu artinya air adalah simbol kebahagiaan. Maka mari kita rawat bersama.”
Menjembatani Sains dan Iman
Pengajian rutin di Masjid Al Mukhlisin UMSA siang itu berakhir pukul 12.20. Namun, pesan yang dibawa meninggalkan kesan mendalam. Muhammadiyah dengan Fikih Air-nya mencoba menjembatani antara iman dan sains, antara teks agama dan realitas sosial.
Dalam konteks Indonesia yang menghadapi ancaman kelangkaan air, kebijakan ekologis berbasis agama menjadi semakin relevan. UMSA melalui pengajian ini menunjukkan bahwa kampus bukan hanya pusat ilmu pengetahuan, tetapi juga pusat kesadaran spiritual yang peduli pada isu-isu kemanusiaan.
Sebagaimana ditutup oleh Ustadz Khilmi, “Menjaga air bukan hanya menjaga lingkungan, tetapi juga menjaga kehidupan. Dan menjaga kehidupan adalah bagian dari pengabdian kita kepada Allah.”
Redaksi.
Tidak ada komentar