Sampit – Warung Pisang Gapit, di gang kecil kawasan Baamang Tengah, manjadi sejarah percakapan serius tentang masa depan kota Sampit. Pad...
Tema ini bukan sekadar retorika. Kota Sampit, ibukota Kabupaten Kotawaringin Timur, sejak lama berada dalam pusaran masalah perkotaan yang berulang: banjir musiman, tata ruang yang semrawut, ruang publik yang minim, hingga kemacetan yang makin terasa di jam sibuk. Sebagai jantung perekonomian dan pusat perdagangan di Kalimantan Tengah, Sampit seperti berjalan di antara dua kutub: ingin tampil modern, namun masih terjerat problem klasik yang tak kunjung selesai.
ForumKAHMI, sebuah wadah diskusi yang digagas oleh alumni Himpunan Mahasiswa Islam di Kotim, berusaha membuka ruang percakapan kritis tentang arah pembangunan kota. Freddy NT Mardhani, Koordinator Presidium KAHMI Kotim, dalam sambutannya menyebut diskusi ini bukan ajang seremonial.
“Kami tidak ingin hanya mengulang keluhan yang sudah biasa didengar. Forum ini harus melahirkan rekomendasi nyata. Kalau tidak, Sampit akan terus terjebak dalam lingkaran masalah yang sama: banjir tiap musim hujan, sampah menumpuk, tata ruang tak jelas. Kota ini bisa kehilangan wajah dan jati dirinya,” ujar Freddy.
Menurutnya, KAHMI ingin menjadi jembatan antara pemerintah daerah, akademisi, komunitas sipil, dan masyarakat luas. “Pertanyaan Sampit mau jadi apa? itu harus dijawab dengan visi yang berani sekaligus implementasi yang konsisten. Jangan sampai kota ini berkembang secara sporadis tanpa arah,” ia menambahkan.
Masalah Lama, Solusi Mandek
Dalam paparannya, Kepala Dinas Cipta Karya Tata Ruang &
Pertanahan Kab. Kotim, Rofiq Riswandi, menyampaikan bahwa Dinas Cipta Karya
Tata Ruang & Pertanahan (CKTRP) Kabupaten Kotawaringin Timur tugasnya
utamanya adalah menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang pekerjaan umum,
penataan ruang, bangunan gedung, serta pengelolaan dan pemanfaatan pertanahan
sesuai peraturan perundang-undangan, termasuk penyusunan kebijakan teknis,
perencanaan, pengendalian, dan fasilitasi pembangunan.
“Terkait masalah draisane, sebenarnya menjadi tugas dari
Bina Marga. Namun sepengetahuan saya, tentu mereka memiliki masterplan terkait
drainase khususnya di area Kota.”Tegasnya
Sementara itu, akademisi Politeknik sampit, Lilis Indriani, menyampaikan bahwa persoalan drainase seperti sudah mentok di Sampit ini. Menurutnya, ia belum melihat rencana induk drainase, khususnya pada jalur akhir.
“Ini bukan sekadar soal kesemrawutan kota atau drainase,
kita bicara soal city branding, citra kota. Sampit harus punya wajah yang
membanggakan, bukan sekadar kota transit atau pusat perdagangan yang semrawut.”
Ujarnya.
Pengamat sosial ekonomi Kotim, Burhanudin, menyampaikan bahwa Sampit harus bisa menyeimbangkan antara kepentingan rakyat kecil dan visi jangka panjang. Penataan yang partisipatif bisa jadi kunci.
“Sampit memiliki segudang potensi untuk menjadi kota besar. Kebijakan pemerintah dan partisipasi masyarakat menjadi kunci mewujudkan arah masa depan kota. Pertanyaan diskusi ini sepatutnya menjadi renungan bersama.Saya ingin menyampaikan dalam forum ini untuk menjawab, Sampit mau jadi apa? Sebagai warga sampit, ada sepuluh mimpi yang saya invertarisir, yakni: kota yang bersih, bebas banjir, yang terang, tertata, ramah lingkungan, bebas narkoba, aman, kota wisata , kota agamis, pusat ekonomi. Nah, mari kita uji mimpi-mimpi ini, mana yang harus kita prioritaskan sesuai dengan kultur, dan kondisi daerah kita”. Tegasnya.
Baca Juga : Ulang Tahun Ke-59, MD KAHMI Kotim Hidupkan Kembali..
Pada sesi tanya jawab, diskusi yang dihadiri oleh seratus
lebih peserta ini, mendapatkan benang merah pokok utama masalah tata kota ini,
yakni masalah perkotaan di Sampit sejatinya bukan barang baru. Rencana Detail
Tata Ruang (RDTR) hingga kini masih berjalan tersendat. Infrastruktur dasar
seperti drainase dan kanal pembuangan air tak sebanding dengan pertumbuhan
jumlah penduduk. Tak heran, setiap kali hujan deras mengguyur, genangan air
menjelma jadi banjir.
Di sisi lain, wajah kota terlihat kusam. Ruang terbuka hijau
terbatas, taman kota minim, dan ruang publik nyaris tak memadai. Estetika kota
juga kerap diabaikan. Pedagang kaki lima (PKL) tumbuh di mana-mana, menjadi
dilema klasik: bila ditertibkan, ekonomi rakyat kecil terancam; bila dibiarkan,
wajah kota makin semrawut.
Sampit, dengan jumlah penduduk yang terus bertambah,
menghadapi dilema antara pertumbuhan ekonomi dan penataan kota. PKL, pasar
tradisional, hingga terminal bayangan adalah wajah nyata ekonomi rakyat kecil
yang sulit dipisahkan dari denyut kota. Namun, tanpa keberanian menata, kota
bisa terjebak pada stagnasi.
Agenda Lima Besar
Dari term of reference yang disusun KAHMI, setidaknya ada
lima isu besar yang akan disuarakan oleh ForumKAHMI Kotim dalam hal perkotaan:
1.
Tata Ruang dan RDTR – arah
pembangunan kawasan dan legalitas ruang.
2.
Infrastruktur Dasar –
jalan, drainase, kanal, transportasi, perumahan.
3.
Ruang Publik dan Estetika –
taman kota, kebersihan, identitas kota.
4.
Manajemen Lingkungan –
pengelolaan sampah, banjir, daerah resapan air.
5.
Sosial Ekonomi Kota – PKL,
perdagangan, mobilitas, dan parkir.
Forum ini diharapkan tidak berhenti pada diskusi, melainkan
menghasilkan policy brief berupa “5 Agenda Besar Penataan Kota Sampit”. Dokumen
ini akan direkomendasikan kepada pemerintah daerah dan DPRD Kotim sebagai
pijakan kebijakan. [KZ]
Tidak ada komentar