Page Nav

HIDE

Pages

Ads Place

https://www.uhamka.ac.id/reg

Di Ulang Tahun ke-59, KAHMI Kotim Hidupkan Kembali Tradisi Diskusi

SAMPIT — Dalam rangka memperingati ulang tahun ke-59 Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) men...


SAMPITDalam rangka memperingati ulang tahun ke-59 Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) menggelar forum diskusi publik dengan tema “Sampit Mau Jadi Apa? (Membedah Arah Tata Kota, dari Masalah Harian ke Rencana Masa Depan)”. Kegiatan ini berlangsung di Warung Pisang Gapit, Rabu (17/9/2015) malam, dan dihadiri ratusan peserta dari berbagai elemen masyarakat.

Forum diskusi yang dipandu secara terbuka ini menghadirkan sejumlah narasumber, yakni Kepala Dinas Cipta Karya Kotim, Rafiq Riswandi; dosen Politeknik Sampit, Lilis Indriani; serta tokoh masyarakat sekaligus pengamat sosial ekonomi, Burhanudin. Ketua Presidium KAHMI Kotim, Freddy NT Mardani, membuka forum dengan menekankan pentingnya ruang dialog dalam membangun arah baru Kota Sampit.

“Ulang tahun ke-59 KAHMI bukan hanya peringatan seremonial, tetapi momentum untuk menghidupkan kembali tradisi intelektual, tradisi diskusi yang selama ini menjadi roh KAHMI. Sampit adalah rumah kita, maka sudah sewajarnya kita bertanya: mau kita bawa kota ini ke mana?” ujar Freddy.

Sorotan Tata Ruang Kota

Diskusi dimulai dengan paparan Rafiq Riswandi, Kepala Dinas Cipta Karya Tata Ruang & Pertanahan Kab. Kotim. Ia menekankan bahwa penataan ruang menjadi fondasi penting pembangunan kota. Menurutnya, Sampit memiliki tiga rencana detail tata ruang (RDTR) yang sudah ditetapkan, termasuk aspek tata bangunan dan kawasan permukiman.

“Namun, implementasi tata ruang kerap berbenturan dengan realitas di lapangan, baik karena keterbatasan data maupun penegakan aturan,” jelas Rafiq. Ia mencontohkan persoalan drainase yang kerap menjadi keluhan masyarakat, terutama saat musim hujan.

Isu banjir di Sampit, lanjutnya, dipengaruhi tiga faktor utama: kondisi alam, topografi, serta pendangkalan drainase. “Masalah ini bukan hanya soal infrastruktur, tetapi juga perilaku masyarakat. Sampah yang menumpuk di saluran menjadi pemicu utama. Maka, solusi yang kami dorong tidak hanya pembangunan fisik, tapi juga edukasi masyarakat,” tambahnya.

 

Drainase dan Infrastruktur Dasar

Lilis Indriani, dosen Politeknik Sampit, menyoroti isu drainase kota. Menurutnya, desain drainase di beberapa titik sudah maksimal, tetapi masalah muncul pada sistem jaringan akhir. Banyak saluran yang tidak terhubung dengan jalur pembuangan utama, sehingga air meluap ke jalan.

“Normalisasi saluran primer sangat mendesak dilakukan. Selain itu, banyak rumah di kota ini yang sama sekali tidak memiliki saluran drainase. Ini memperburuk genangan air,” ujarnya.

Lilis juga mengkritisi kondisi jalan yang rusak dan titik-titik kemacetan akibat ketidakseimbangan antara kapasitas jalan dengan volume kendaraan. Ia menambahkan bahwa perencanaan sumur resapan harus menjadi perhatian untuk mengurangi risiko banjir. “Jangan hanya fokus pada saluran besar, tapi juga teknologi sederhana yang bisa diterapkan warga,” katanya.

 

Sementara itu, Burhanudin menawarkan visi ideal tentang masa depan Sampit. Ia menyebutkan sepuluh mimpi besar yang diharapkan bisa diwujudkan bersama: kota yang bersih, bebas banjir, terang, tertata, ramah lingkungan, bebas narkoba, aman, religius, menjadi destinasi wisata, dan pusat ekonomi.

“Jika kita hanya sibuk dengan masalah harian tanpa arah, Sampit akan terus begini-begini saja. Kita perlu mimpi kolektif, visi bersama yang bisa menjadi pegangan dalam pembangunan,” tegasnya. Burhanudin juga menyinggung pentingnya pengembangan wisata susur sungai, penataan pemakaman, serta penerangan jalan yang layak sebagai bagian dari wajah kota.

 

Antusiasme Peserta

Diskusi semakin hidup ketika peserta mulai menyampaikan pandangan. Zam’an, mempertanyakan apakah Sampit memiliki master plan drainase yang komprehensif. Ia juga menyoroti persoalan naiknya debit air sungai, serta dampak timbunan jalan yang membuat rumah warga menjadi lebih rendah dari badan jalan.

Peserta lain, Eddy Sabarudin, menekankan perlunya respon cepat pemerintah terhadap keluhan masyarakat. “Sampit ini mau ke mana? Apakah kita punya kajian akademis yang bisa menjadi dasar master plan drainase?” ujarnya.

Dari kalangan mahasiswa, Evan dari BEM STIE Sampit menyoroti penanganan banjir yang belum menyentuh akar masalah. “Kita masih terjebak pada solusi tambal sulam. Perlu pendekatan baru,” katanya.

Catur mengangkat isu sengketa lahan yang kerap muncul akibat lemahnya pengawasan hingga ke desa. Sementara itu, Audi Falen menilai Sampit menghadapi “multi masalah”, mulai dari tata ruang, transportasi, hingga identitas kota sebagai pusat bisnis.

Dalam sesi tanggapan, Rafiq menegaskan bahwa drainase sebenarnya menjadi kewenangan Dinas Bina Marga, meski pihaknya tetap berkoordinasi. Ia menyebut solusi banjir harus dilakukan secara simultan: pembangunan infrastruktur, pencegahan, dan edukasi.

Lilis kembali menekankan perlunya pintu air di titik pertemuan sungai dan saluran pembuangan. Tanpa itu, genangan air sulit diatasi. Burhanudin menambahkan perlunya regulasi yang lebih ketat terkait rumah di tepi sungai, termasuk konsep drainase di tengah jalan yang masih belum jelas penerapannya.

Sejumlah peserta lain juga menyoroti isu spesifik. Parlin menyoroti posisi depo sampah, termasuk yang berada di dekat SMP Negeri 3, serta pentingnya penataan kota yang ramah bagi penyandang disabilitas. Ia juga menekankan perlunya penertiban jalur tepi sungai agar tidak semakin semrawut.

Sugi, peserta dari kalangan pegiat sosial, menegaskan agar hasil diskusi tidak berhenti di forum. “Diskusi ini harus menghasilkan rekomendasi yang bisa ditindaklanjuti pemerintah. Ke depan, tema diskusi juga perlu lebih spesifik, agar bisa masuk ke dalam regulasi,” ujarnya. Ia menilai branding pariwisata Sampit masih sangat lemah, padahal potensi sungai dan budaya lokal sangat besar.

Nasir, anggota KAHMI mengingatkan tentang pentingnya penertiban garis sempadan jalan. Sementara Ardianur kembali menyoroti persoalan drainase yang belum tuntas. Ridwan Kusuma, akademisi dan penggiat sosial, mengusulkan agar dilakukan penelitian ilmiah mendalam mengenai tata ruang Sampit dengan melibatkan pada akademisi, sehingga kebijakan yang diambil tidak sekadar reaktif.

Diskusi yang berlangsung lebih dari dua jam itu menggambarkan betapa besarnya harapan masyarakat terhadap arah pembangunan Sampit. Beragam masalah mulai dari banjir, sampah, transportasi, hingga identitas kota sebagai pusat wisata dan ekonomi muncul dalam forum tersebut.

Ketua Presidium KAHMI, Freddy NT Mardani, menutup diskusi dengan ajakan agar hasil pembahasan tidak berhenti sebagai wacana. “Kita sudah mendengar banyak masukan, keluhan, dan ide. Tugas kita berikutnya adalah merumuskan rekomendasi yang bisa diteruskan kepada pemerintah daerah. Inilah bentuk kontribusi KAHMI untuk Kotim,” katanya.

Dengan antusiasme peserta yang memenuhi Warung Pisang Gapit malam itu, forum diskusi KAHMI seolah menghidupkan kembali tradisi intelektual di tengah masyarakat Sampit. Ulang tahun ke-59 KAHMI pun menjadi momentum refleksi, sekaligus titik awal untuk menata ulang arah masa depan kota. [KZ]

Tidak ada komentar

Ads Place