SAMPIT — Dalam rangka memperingati ulang tahun ke-59 Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) men...
Forum diskusi yang dipandu secara terbuka ini menghadirkan
sejumlah narasumber, yakni Kepala Dinas Cipta Karya Kotim, Rafiq Riswandi; dosen
Politeknik Sampit, Lilis Indriani; serta tokoh masyarakat sekaligus pengamat
sosial ekonomi, Burhanudin. Ketua Presidium KAHMI Kotim, Freddy NT Mardani,
membuka forum dengan menekankan pentingnya ruang dialog dalam membangun arah
baru Kota Sampit.
“Ulang tahun ke-59 KAHMI bukan hanya peringatan seremonial,
tetapi momentum untuk menghidupkan kembali tradisi intelektual, tradisi diskusi
yang selama ini menjadi roh KAHMI. Sampit adalah rumah kita, maka sudah
sewajarnya kita bertanya: mau kita bawa kota ini ke mana?” ujar Freddy.
Sorotan Tata Ruang Kota
Diskusi dimulai dengan paparan Rafiq Riswandi, Kepala Dinas
Cipta Karya Tata Ruang & Pertanahan Kab. Kotim. Ia menekankan bahwa
penataan ruang menjadi fondasi penting pembangunan kota. Menurutnya, Sampit
memiliki tiga rencana detail tata ruang (RDTR) yang sudah ditetapkan, termasuk
aspek tata bangunan dan kawasan permukiman.
“Namun, implementasi tata ruang kerap berbenturan dengan
realitas di lapangan, baik karena keterbatasan data maupun penegakan aturan,”
jelas Rafiq. Ia mencontohkan persoalan drainase yang kerap menjadi keluhan
masyarakat, terutama saat musim hujan.
Isu banjir di Sampit, lanjutnya, dipengaruhi tiga faktor
utama: kondisi alam, topografi, serta pendangkalan drainase. “Masalah ini bukan
hanya soal infrastruktur, tetapi juga perilaku masyarakat. Sampah yang menumpuk
di saluran menjadi pemicu utama. Maka, solusi yang kami dorong tidak hanya
pembangunan fisik, tapi juga edukasi masyarakat,” tambahnya.
Drainase dan Infrastruktur Dasar
Lilis Indriani, dosen Politeknik Sampit, menyoroti isu
drainase kota. Menurutnya, desain drainase di beberapa titik sudah maksimal,
tetapi masalah muncul pada sistem jaringan akhir. Banyak saluran yang tidak
terhubung dengan jalur pembuangan utama, sehingga air meluap ke jalan.
“Normalisasi saluran primer sangat mendesak dilakukan.
Selain itu, banyak rumah di kota ini yang sama sekali tidak memiliki saluran
drainase. Ini memperburuk genangan air,” ujarnya.
Lilis juga mengkritisi kondisi jalan yang rusak dan
titik-titik kemacetan akibat ketidakseimbangan antara kapasitas jalan dengan
volume kendaraan. Ia menambahkan bahwa perencanaan sumur resapan harus menjadi
perhatian untuk mengurangi risiko banjir. “Jangan hanya fokus pada saluran
besar, tapi juga teknologi sederhana yang bisa diterapkan warga,” katanya.
Sementara itu, Burhanudin menawarkan visi ideal tentang masa
depan Sampit. Ia menyebutkan sepuluh mimpi besar yang diharapkan bisa
diwujudkan bersama: kota yang bersih, bebas banjir, terang, tertata, ramah
lingkungan, bebas narkoba, aman, religius, menjadi destinasi wisata, dan pusat
ekonomi.
“Jika kita hanya sibuk dengan masalah harian tanpa arah,
Sampit akan terus begini-begini saja. Kita perlu mimpi kolektif, visi bersama
yang bisa menjadi pegangan dalam pembangunan,” tegasnya. Burhanudin juga
menyinggung pentingnya pengembangan wisata susur sungai, penataan pemakaman,
serta penerangan jalan yang layak sebagai bagian dari wajah kota.
Antusiasme Peserta
Diskusi semakin hidup ketika peserta mulai menyampaikan
pandangan. Zam’an, mempertanyakan apakah Sampit memiliki master plan
drainase yang komprehensif. Ia juga menyoroti persoalan naiknya debit air
sungai, serta dampak timbunan jalan yang membuat rumah warga menjadi lebih
rendah dari badan jalan.
Peserta lain, Eddy Sabarudin, menekankan perlunya respon
cepat pemerintah terhadap keluhan masyarakat. “Sampit ini mau ke mana? Apakah
kita punya kajian akademis yang bisa menjadi dasar master plan drainase?”
ujarnya.
Dari kalangan mahasiswa, Evan dari BEM STIE Sampit menyoroti
penanganan banjir yang belum menyentuh akar masalah. “Kita masih terjebak pada
solusi tambal sulam. Perlu pendekatan baru,” katanya.
Catur mengangkat isu sengketa lahan yang kerap muncul akibat
lemahnya pengawasan hingga ke desa. Sementara itu, Audi Falen menilai Sampit
menghadapi “multi masalah”, mulai dari tata ruang, transportasi, hingga
identitas kota sebagai pusat bisnis.
Dalam sesi tanggapan, Rafiq menegaskan bahwa drainase sebenarnya menjadi kewenangan Dinas Bina Marga, meski pihaknya tetap berkoordinasi. Ia menyebut solusi banjir harus dilakukan secara simultan: pembangunan infrastruktur, pencegahan, dan edukasi.
Lilis kembali menekankan perlunya pintu air di titik
pertemuan sungai dan saluran pembuangan. Tanpa itu, genangan air sulit diatasi.
Burhanudin menambahkan perlunya regulasi yang lebih ketat terkait rumah di tepi
sungai, termasuk konsep drainase di tengah jalan yang masih belum jelas
penerapannya.
Sejumlah peserta lain juga menyoroti isu spesifik. Parlin
menyoroti posisi depo sampah, termasuk yang berada di dekat SMP Negeri 3, serta
pentingnya penataan kota yang ramah bagi penyandang disabilitas. Ia juga
menekankan perlunya penertiban jalur tepi sungai agar tidak semakin semrawut.
Sugi, peserta dari kalangan pegiat sosial, menegaskan agar
hasil diskusi tidak berhenti di forum. “Diskusi ini harus menghasilkan
rekomendasi yang bisa ditindaklanjuti pemerintah. Ke depan, tema diskusi juga
perlu lebih spesifik, agar bisa masuk ke dalam regulasi,” ujarnya. Ia menilai
branding pariwisata Sampit masih sangat lemah, padahal potensi sungai dan
budaya lokal sangat besar.
Nasir, anggota KAHMI mengingatkan tentang pentingnya
penertiban garis sempadan jalan. Sementara Ardianur kembali menyoroti persoalan
drainase yang belum tuntas. Ridwan Kusuma, akademisi dan penggiat sosial,
mengusulkan agar dilakukan penelitian ilmiah mendalam mengenai tata ruang
Sampit dengan melibatkan pada akademisi, sehingga kebijakan yang diambil tidak
sekadar reaktif.
Diskusi yang berlangsung lebih dari dua jam itu
menggambarkan betapa besarnya harapan masyarakat terhadap arah pembangunan
Sampit. Beragam masalah mulai dari banjir, sampah, transportasi, hingga
identitas kota sebagai pusat wisata dan ekonomi muncul dalam forum tersebut.
Ketua Presidium KAHMI, Freddy NT Mardani, menutup diskusi
dengan ajakan agar hasil pembahasan tidak berhenti sebagai wacana. “Kita sudah
mendengar banyak masukan, keluhan, dan ide. Tugas kita berikutnya adalah
merumuskan rekomendasi yang bisa diteruskan kepada pemerintah daerah. Inilah
bentuk kontribusi KAHMI untuk Kotim,” katanya.
Dengan antusiasme peserta yang memenuhi Warung Pisang Gapit
malam itu, forum diskusi KAHMI seolah menghidupkan kembali tradisi intelektual
di tengah masyarakat Sampit. Ulang tahun ke-59 KAHMI pun menjadi momentum
refleksi, sekaligus titik awal untuk menata ulang arah masa depan kota. [KZ]
Tidak ada komentar