Ilustrasi : Relawan MDMC memberikan bantuan oksigen kepada petugas beberapa waktu lalu dalam kasus kabut asap di Sampit MUHAMMADIYAH SEBAG...
![]() |
| Ilustrasi : Relawan MDMC memberikan bantuan oksigen kepada petugas beberapa waktu lalu dalam kasus kabut asap di Sampit |
MUHAMMADIYAH SEBAGAI GERAKAN SOSIAL DAN PENDIDIKAN: KAJIAN IDEOLOGIS DAN PRAKSIS
Oleh : Khilmi Zuhroni
Abstrak
Muhammadiyah merupakan gerakan Islam yang tidak hanya berorientasi pada
dakwah dan tajdid (pembaruan), tetapi juga mewujud dalam praksis sosial dan
pendidikan yang sistematis. Artikel ini menganalisis dua dimensi utama gerakan
Muhammadiyah: sebagai gerakan sosial dan sebagai gerakan pendidikan. Melalui
pendekatan deskriptif-analitis, tulisan ini menyoroti nilai-nilai teologis
al-Ma’un yang menjadi dasar etos sosial Muhammadiyah, bentuk konkret gerakan
sosial-kemanusiaan, serta revitalisasi peran sosial dan pendidikan Muhammadiyah
di era kontemporer. Data diperoleh dari sumber primer Muhammadiyah, dokumen
Tanwir, serta karya-karya Haedar Nashir dan tokoh-tokoh Muhammadiyah yang lain.
Kajian ini menunjukkan bahwa Muhammadiyah menegaskan Islam sebagai agama
praksis yang membebaskan, memberdayakan, dan memajukan kehidupan umat manusia
(Islam berkemajuan).
Kata Kunci: Muhammadiyah, teologi al-Ma’un, gerakan sosial, pendidikan
Islam, tajdid.
1. Pendahuluan
Gerakan Muhammadiyah berdiri pada 18 November 1912 oleh K.H. Ahmad
Dahlan sebagai respon terhadap kondisi kemunduran sosial-keagamaan umat Islam
di Indonesia. Muhammadiyah menampilkan Islam yang rasional, terbuka, dan
praksis — yang menekankan keseimbangan antara keimanan dan amal sosial. Dalam
sejarahnya, gerakan ini dikenal melalui dua pilar utama: amal sosial dan pendidikan.
Menurut Haedar Nashir, Muhammadiyah hadir untuk “mencerahkan kehidupan
umat dan bangsa” melalui dakwah yang membebaskan, memberdayakan, dan memajukan.
Semangat itu berpijak pada teologi al-Ma’un, yaitu keyakinan bahwa keimanan
harus berbuah dalam tindakan sosial untuk menolong fakir miskin dan kaum lemah.
2. Muhammadiyah sebagai Gerakan Sosial
2.1 Nilai dan Ajaran Sosial-Kemanusiaan Muhammadiyah (Teologi al-Ma’un)
Teologi al-Ma’un adalah basis ideologis gerakan sosial Muhammadiyah.
K.H. Ahmad Dahlan memaknai Surah al-Ma’un (107:1–7) sebagai kritik terhadap
keimanan yang tidak diwujudkan dalam kepedulian sosial. Ia menafsirkan bahwa
Islam sejati bukan hanya shalat dan ibadah ritual, tetapi juga tanggung jawab
sosial terhadap fakir miskin, yatim, dan dhu’afa.
Menurut Haedar Nashir, teologi al-Ma’un menegaskan tiga prinsip:
- Keimanan yang
membebaskan, yakni iman yang mendorong manusia melawan ketertindasan dan
kebodohan.
- Amal yang
memberdayakan, yaitu kerja sosial yang meningkatkan martabat manusia.
- Keadilan sosial,
sebagai manifestasi tauhid sosial dalam struktur masyarakat.
Nilai-nilai ini membentuk paradigma dakwah “Islam berkemajuan”, yang
bukan hanya mengislamkan manusia, tetapi juga menginsankan Islam dalam realitas
sosial.
2.2 Gerakan Peduli terhadap Fakir Miskin dan Anak Yatim
Spirit al-Ma’un diwujudkan oleh K.H. Ahmad Dahlan dengan mendirikan Lembaga
Penolong Kesengsaraan Umum (PKU) pada 1918, yang kini berkembang menjadi Rumah
Sakit PKU Muhammadiyah di berbagai daerah. Gerakan ini melayani masyarakat
tanpa diskriminasi agama dan status sosial.
Selain itu, lahir Panti Asuhan Yatim, Lembaga Zakat, Infaq, dan
Shadaqah Muhammadiyah (Lazismu), serta Lembaga Penanggulangan Bencana (MDMC)
yang bergerak dalam bantuan kemanusiaan lintas agama dan wilayah bencana.
Seluruhnya menunjukkan penerjemahan ajaran al-Ma’un dalam bentuk praksis sosial
yang sistematis.
Gerakan sosial Muhammadiyah bersifat universal dan non-sektarian.
Haedar Nashir menegaskan bahwa “dakwah pencerahan” Muhammadiyah harus menjadi
rahmat bagi seluruh manusia (rahmatan lil-‘alamin).
2.3 Bentuk dan Model Gerakan Sosial-Kemanusiaan Muhammadiyah
Muhammadiyah membangun model gerakan sosial berorientasi amal usaha
(charity-based movement). Beberapa bentuk utamanya antara lain:
- Kesehatan: lebih
dari 400 rumah sakit dan klinik Muhammadiyah tersebar di Indonesia, yang
beroperasi atas prinsip pelayanan sosial dan profesionalisme.
- Kemanusiaan:
Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) aktif dalam penanganan
bencana nasional dan internasional.
- Ekonomi Sosial:
pengembangan koperasi dan lembaga mikro-keuangan syariah untuk
memberdayakan umat.
- Lingkungan: gerakan
eco-masjid dan program “Green Muhammadiyah”.
- Perempuan dan anak:
melalui organisasi otonom seperti ‘Aisyiyah dan Nasyiatul ‘Aisyiyah yang
mengembangkan pendidikan dan kesejahteraan keluarga.
Model ini menunjukkan integrasi antara dakwah, sosial, dan pemberdayaan
masyarakat — suatu sistem sosial Islam yang modern dan berkelanjutan.
2.4 Revitalisasi Gerakan Sosial Muhammadiyah
Tantangan globalisasi, urbanisasi, dan kesenjangan ekonomi menuntut revitalisasi
gerakan sosial Muhammadiyah. Tanwir Muhammadiyah 2007 menegaskan perlunya
penguatan kembali ideologi al-Ma’un agar gerakan sosial tidak berhenti pada
kegiatan karitatif, tetapi meluas menjadi transformasi sosial struktural.
Revitalisasi ini mencakup:
- Digitalisasi layanan
sosial, seperti platform Lazismu online.
- Kolaborasi lintas
agama dalam penanganan bencana dan kemanusiaan.
- Gerakan filantropi
produktif, yaitu pemberdayaan ekonomi berbasis dana zakat dan wakaf.
- Pendidikan sosial
berbasis nilai al-Ma’un di sekolah dan pesantren Muhammadiyah.
Revitalisasi tersebut menegaskan bahwa Islam yang diperjuangkan
Muhammadiyah adalah Islam yang membangun peradaban sosial yang adil, egaliter,
dan manusiawi.
3. Muhammadiyah sebagai Gerakan Pendidikan
3.1 Faktor yang Melatarbelakangi Gerakan Muhammadiyah di Bidang
Pendidikan
Gerakan pendidikan Muhammadiyah lahir dari kesadaran K.H. Ahmad Dahlan
terhadap ketertinggalan umat Islam akibat dominasi sistem pendidikan kolonial
Belanda. Ia melihat bahwa pendidikan Islam tradisional belum mampu menjawab
tantangan zaman.
Menurut Agus Miswanto, ada dua faktor utama:
- Faktor teologis,
yaitu perintah Al-Qur’an tentang pentingnya ilmu dan pendidikan (QS.
Al-‘Alaq: 1–5).
- Faktor
sosial-historis, yakni kondisi umat yang terpinggirkan secara sosial,
ekonomi, dan politik.
Dari kesadaran inilah, K.H. Ahmad Dahlan mendirikan sekolah
Muhammadiyah pertama pada tahun 1913 di Yogyakarta, yang memadukan pelajaran
agama dan umum dalam satu sistem terpadu — sebuah inovasi besar pada masa itu.
3.2 Cita-Cita Pendidikan Muhammadiyah
Cita-cita pendidikan Muhammadiyah berakar pada Matan Keyakinan dan
Cita-Cita Hidup Muhammadiyah (MKCH), yakni membentuk manusia beriman, berilmu,
berakhlak mulia, dan berguna bagi masyarakat.
Dalam konteks ini, pendidikan Muhammadiyah diarahkan untuk:
- Membentuk manusia
berkemajuan (insan beradab);
- Mengembangkan akal
dan hati secara seimbang;
- Menjadikan ilmu
sebagai amal dan amal sebagai ilmu;
- Membebaskan manusia
dari kebodohan dan kemiskinan.
Cita-cita ini sejalan dengan gagasan “Islam berkemajuan” yang
dikembangkan oleh Haedar Nashir, yakni pendidikan sebagai jalan pencerahan dan
pembebasan.
3.3 Bentuk dan Model Pendidikan Muhammadiyah
Pendidikan Muhammadiyah kini mencakup seluruh jenjang: dari PAUD hingga
perguruan tinggi, dengan model integratif antara ilmu agama, umum, dan
keterampilan. Berdasarkan data MPI PP Muhammadiyah, terdapat:
- 4.623 lembaga
pendidikan dasar dan menengah;
- 176 perguruan tinggi
Muhammadiyah–‘Aisyiyah;
- Ratusan pesantren
modern dan sekolah inklusif.
Model pendidikan Muhammadiyah menekankan:
- Humanisasi –
memanusiakan peserta didik;
- Liberasi –
membebaskan dari ketertinggalan;
- Transendensi –
menanamkan nilai spiritual Islam.
3.4 Pemikiran dan Praksis Pendidikan Muhammadiyah
Pemikiran pendidikan Muhammadiyah bersumber dari integrasi iman, ilmu,
dan amal. Menurut K.H. Ahmad Dahlan, pendidikan harus menumbuhkan kesadaran
sosial (al-Ma’uniyah) dan intelektual sekaligus.
Haedar Nashir menekankan bahwa pendidikan Muhammadiyah harus memadukan
pencerahan akal dan hati, melahirkan generasi yang ilmiah, profesional, dan
berakhlak.
Praksisnya diwujudkan dalam:
- Sistem kurikulum
terpadu (agama-sains);
- Model student-centered
learning;
- Pengembangan character
education berbasis Al-Qur’an dan Sunnah;
- Pusat studi
kemanusiaan dan kebangsaan di perguruan tinggi Muhammadiyah.
3.5 Tantangan dan Revitalisasi Pendidikan Muhammadiyah
Di era digital dan globalisasi, Muhammadiyah menghadapi tantangan
besar:
- Kompetisi dengan
lembaga pendidikan internasional;
- Transformasi digital
yang cepat;
- Degradasi moral dan
krisis spiritual di kalangan generasi muda.
Revitalisasi pendidikan Muhammadiyah perlu diarahkan pada:
- Digitalisasi sistem
pendidikan (E-Learning, kampus merdeka berbasis AI);
- Internasionalisasi
kampus Muhammadiyah;
- Riset unggulan
berbasis nilai Islam berkemajuan;
- Kolaborasi global
dalam pengembangan ilmu dan teknologi.
Dengan strategi ini, pendidikan Muhammadiyah tidak hanya menjadi sarana
transmisi ilmu, tetapi juga agen perubahan sosial dan moral bangsa.
4. Kesimpulan
Muhammadiyah merupakan gerakan Islam multidimensional yang menegaskan
keislaman sebagai kekuatan sosial dan pendidikan. Teologi al-Ma’un menjadi
basis spiritual dan moral bagi gerakan sosial-kemanusiaan Muhammadiyah,
sedangkan pendidikan berkemajuan menjadi instrumen dakwah pencerahan.
Keduanya saling melengkapi: amal sosial melahirkan keadilan sosial, dan
pendidikan melahirkan manusia berilmu dan berakhlak. Revitalisasi gerakan
sosial dan pendidikan Muhammadiyah di era globalisasi menuntut inovasi berbasis
nilai Islam yang rasional, terbuka, dan berkemajuan. Dengan demikian,
Muhammadiyah tetap menjadi pelopor Islam tanwir — Islam yang menerangi
peradaban manusia sepanjang masa.
Daftar Pustaka
Haedar
Nashir. Muhammadiyah dan Gerakan Pencerahan untuk Indonesia Berkemajuan.
Yogyakarta: PP Muhammadiyah, 2015.
Majelis
Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah. Muhammadiyah 100 Tahun Menyinari
Negeri. Yogyakarta: MPI PP Muhammadiyah, 2013.
Pimpinan
Pusat Muhammadiyah. Tanfidz Keputusan Tanwir Muhammadiyah Tahun 1428 H/2007
M. Yogyakarta: PP Muhammadiyah, 2007.
Agus
Miswanto. Studi Islam dan Kemuhammadiyahan. Magelang: P3SI UMM, 2012.
K.H.
Ahmad Dahlan. Risalah Al-Ma’un dan Amal Sosial. Arsip Muhammadiyah,
Yogyakarta.
Syafii
Maarif, A. Islam dan Masalah Kenegaraan. Jakarta: LP3ES, 1985.


Tidak ada komentar