Prosa Dan Lelaki Lebih Memilih Diam Sejak kecil lelaki itu sudah mengerti bahwa hidup bukanlah lantunan musik yang selalu merdu. Ibunya pe...
Prosa
Dan Lelaki Lebih Memilih Diam
Sejak kecil lelaki itu sudah mengerti
bahwa hidup bukanlah lantunan musik yang selalu merdu. Ibunya pernah bersabda
dengan suara serak yang samar, “Nak, orang dewasa sering kesepian di tengah
ramai.” Ia tak sepenuhnya paham, sebab bocah selalu mempercayai bahwa rumah
adalah tempat yang tak pernah mengusir, dan keluarga adalah kata benda yang tak
berubah. Namun, usia mengajari bahwa bahasa bisa menipu—dan rumah pun bisa
menjadi perantauan yang tak selesai.
Ia tumbuh di kota pinggiran. Di antara
sawah, sepeda butut, dan kebiasaan pulang sebelum Maghrib. Kekayaannya adalah
waktu yang belum dihitung pajak. Setiap sore ia duduk di tangga rumah,
memperhatikan ayam pulang lebih awal daripada ayahnya. Sang ayah, seorang
pekerja kecil, selalu membawa lelah di wajahnya. Tapi lelaki itu jarang
mendengar ayahnya mengeluh. Mungkin karena ayahnya tahu bahwa keluh hanya
memperluas luka yang sudah tak cukup ruang.
Dari ayahnya pula ia belajar diam adalah
bahasa yang penuh tanda baca. Seperti sajak yang tak selesai, tapi cukup untuk
dipahami oleh mereka yang sudi membaca. Maka ketika kemudian ia beranjak
dewasa, ia menyimpan pelajaran itu. Diam bisa menyambung hidup, kadang juga
membinasakannya.
Ia menikah. Karena di suatu titik — kita
semua, katanya — menyangka bahwa cinta akan bertahan lama jika dikelola dengan
kesetiaan. Namun kesetiaan bukanlah bunga plastik: ia bisa layu. Dan cinta
bukan pagar besi: ia bisa roboh. Istrinya adalah perempuan yang pernah ia
kagumi karena suaranya riang seperti burung pipit. Tetapi suara yang dulu
mengundang rindu itu lama-lama berubah: lebih panjang, lebih tinggi nadanya,
dan lebih sering menuduh. Rumah pelan-pelan menjadi kuali: mendidih tanpa suara
air.
Kecurigaan mungkin adalah senjata paling
sering dipakai mereka yang pernah takut kehilangan. Ironisnya, senjata itu
justru melukai yang ingin dipertahankan.
Suatu malam, istrinya membentak:
“Untuk apa kau pulang? Hanya membawa
lelah, tanpa uang?”
Ia tak menjawab. Sebab tak semua kata perlu diadu. Kadang, diam lebih jujur
daripada penjelasan. Ia duduk di ruang tamu, merasakan dingin yang tak datang
dari angin, tetapi dari bayang-bayang rumah sendiri.
Kisah seperti ini tak asing. Di negeri yang dalam banyak hal masih percaya bahwa laki-laki harus kuat, banyak lelaki belajar menelan sakit seperti minum air putih. Sunyi adalah dapurnya; diam adalah lauknya. Dari catatan Democritus yang tua, lelaki teringat satu kalimat: “Wealth is not the measure of a man, but the tranquility of his soul.” Tapi zaman berubah. Jiwanya boleh tenteram, tapi rekeningnya kosong — dan dunia, seperti juga istrinya, lebih melihat angka daripada makna.
Anak-anaknya tumbuh dan kehilangan
bahasa yang pernah mengikat mereka. Dulu mereka berebut duduk di pangkuannya;
kini bahkan tak sempat mengetuk pintunya. Hidup modern menuntut lekas. Mereka
berlari mengejar hal yang sama seperti dulu ayah mereka kejar: penghidupan.
Ironisnya, dalam perlombaan itu, mereka lupa siapa yang dulu mengajarkan
berjalan.
Ia tak marah. Hanya sedih. Kesedihan
yang tak menuntut siapa pun bertanggung jawab. Kesedihan yang diam-diam hadir
seperti bayangan setiap pagi.
Ia pernah membaca kisah Raja Lear, yang memberikan kerajaannya pada anak-anaknya, hanya untuk disingkirkan. William Shakespeare — lelaki jenaka yang menulis tragedi — seolah sudah tahu bahwa manusia gemar mengulangi kebodohan. Ia juga pernah mendengar hikayat seorang sahabat nabi, yang di masa tuanya dibiarkan hidup sederhana tanpa sibuk dihormati. Lelaki itu menyimpulkan: kehormatan di masa tua bukan karena jabatan, tapi kenangan. Tapi, apa jadinya bila kenangan pun tak lagi diundang ke meja makan?
Tetangga pernah berkata, “Kesepian itu
belati yang tak terlihat.”
Ia mengangguk. Tapi ia tahu, belati itu bukan tak terlihat: hanya tak diakui.
Lelaki tak pernah takut lapar. Sepanjang hidup ia makan apa yang ada. Nasi keras. Singkong sisa. Kadang angin dan kata-kata. Lapar tak pernah membunuhnya. Penyakit juga tidak. Ketika tubuhnya digerogoti rematik, ia tetap berjalan menyapu halaman. Sakit adalah tamu; ia menghormati, lalu membiarkannya pergi sesuka hati. Tetapi keterasingan — terutama dari orang yang ia lahirkan dari tulang rusuk dan rahim — itulah yang meretakkan hati tua.
Yang menyakitkan bukanlah jadi miskin.
Bukan juga jadi sakit. Tetapi ketika ia menjadi tak penting. Ketika suaranya
tak lagi dicatat. Ketika pandangannya dianggap usang. Ketika tubuhnya hanya
dihitung sebagai beban, bukan sejarah.
Suatu sore, ia duduk di kursi plastik di
halaman, menyaksikan matahari turun tanpa upacara. Ia ingat masa kecilnya,
ketika ia percaya bahwa orang tua adalah rumah. Ironi mengemuka: kini ia
tinggal di rumah yang bukan lagi rumah; hanya bangunan yang kebetulan
menaunginya.
Tetangga lewat. Menyapa singkat. Ia
membalas dengan senyum yang bahkan ia sendiri tak merasa memilikinya. Senyum
yang dicipta untuk kesantunan. Karena lelaki tak ingin menambah daftar panjang
keluhan dunia.
Ada yang berkata: “Diam adalah cara tubuh menyelamatkan hati.”
Mungkin benar. Tapi diam juga bisa jadi pertanda perpisahan. Ia semakin jarang
bicara. Bahkan ketika istrinya marah, ia hanya menatap. Tatapan yang bukan
perlawanan, tapi kepasrahan yang lahir dari pengalaman panjang bahwa kata hanya
memperluas luka.
Ia menulis beberapa catatan di buku
tipis:
“Aku tidak ingin menang. Hanya ingin
dikenang, setidaknya sebagai seseorang yang pernah ada.”
Buku itu ia letakkan di bawah bantal. Tak ada yang membacanya. Mungkin kelak, setelah ia tiada, seseorang akan menemukannya. Atau mungkin tidak. Ia tidak menagih takdir.
Di kota, seorang psikolog pernah
berceramah bahwa banyak lelaki lansia menderita depresi karena kehilangan peran
sosial. Di tempat lain, catatan antropologi menulis bahwa masyarakat Jawa
selalu menempatkan ayah sebagai pamong. Namun di masa kini, peran itu perlahan
menyusut — ekonomi mengambil alih spiritualitas keluarga. Sementara cinta yang
pernah jadi bahasa, kini menjadi kalkulasi. Bagi lelaki itu, teori-teori itu
tak mengubah apa pun. Hiruk-pikuk dunia akademik tak bisa membetulkan
punggungnya yang membungkuk.
Yang tersisa baginya hanyalah kebiasaan
kecil: menyapu halaman, menyirami tanaman, mendengar kokok ayam tetangga. Di
sela kegiatan itu, ia menyadari satu hal: ia tidak benci siapa pun. Tidak
istrinya. Tidak anak-anaknya. Tidak juga dirinya sendiri. Ia hanya tidak lagi
punya tempat dalam cerita yang dulu ia bangun.
Jadi ia memilih diam. Diam bukan dalam arti menyerah. Tapi seperti pohon tua, yang ketika angin datang, ia tak melawan. Ia menunduk, karena akar—meski terluka—tetap ingin hidup.
Dalam diamnya, ia menemukan sejenis
kebijaksanaan yang tak diajarkan di sekolah. Bahwa manusia tak selalu
mendapatkan apa yang layak. Bahwa cinta bisa berubah arah. Bahwa kesetiaan
tidak selalu dipahami. Tetapi ia percaya: setiap perjalanan punya penutup. Dan
penutup tidak harus dramatis. Kadang ia hanya sebaris kalimat dalam hati: “Aku
sudah cukup.”
Suatu pagi, ia duduk di halaman,
memandangi langit. Cahaya menetes perlahan melewati rambutnya yang memutih. Ia
merasa ringan. Seolah ia bagian dari embun. Seolah ia mendengar ibunya
berbisik, setelah bertahun-tahun:
“Orang dewasa sering kesepian di tengah ramai.”
Ia tersenyum.Kali ini ia paham.
Maka lelaki lebih memilih diam.
Karena pada akhirnya, sunyi adalah rumah
terakhir yang masih menerimanya tanpa bertanya.
(de Sailentino)


Tidak ada komentar