Page Nav

HIDE

Grid

GRID_STYLE

Pages

https://www.uhamka.ac.id/reg

Perjalanan Hidup Sang Muballigh (Bagian 1)

  Akmal Thamroh (foto tahun 1977) Di tengah gemerlap keindahan alam Sumatera Barat, terletak sebuah desa yang tersembunyi di antara perbukit...

 

Akmal Thamroh (foto tahun 1977)

Di tengah gemerlap keindahan alam Sumatera Barat, terletak sebuah desa yang tersembunyi di antara perbukitan hijau Kabupaten Tanah Datar. Desa itu bernama Tanjung Bonai, sebuah permata tersembunyi yang dijaga ketat oleh alam sekitarnya. Terletak di lereng Gunung Singgalang, desa ini terhampar mempesona di antara lembah yang mengalirkan sungai-sungai jernih.

Pagi menyapa Tanjung Bonai dengan kelembutan. Mentari pagi terbit di ufuk timur, memancarkan sinar hangat yang menyinari ladang-ladang hijau dan rumah-rumah kayu di desa itu. Kabut tipis menyelimuti lereng-lereng gunung, memberikan nuansa misterius yang mempesona. Di kejauhan, Gunung Singgalang menjulang gagah, menjaga desa dengan kokohnya.

Sungai Batang Lintau mengalir dengan gemericik yang menenangkan di sepanjang tepi desa. Airnya jernih dan segar, memantulkan bayangan pepohonan yang berjejer rapi di tepiannya. Di pagi hari, suara riakannya menyambut para penduduk desa yang mulai beraktivitas, mengingatkan akan kehidupan yang terus berjalan di alam yang damai ini.

Di tanah yang subur nan hijau di Tanah Datar, Sumatera Barat itu, tepat pada tanggal 5 September 1955, sebuah kelahiran membawa sinar kehidupan baru bagi sebuah keluarga yang sederhana. Mereka adalah keluarga yang teguh dalam keimanan, terpatri dalam lingkaran Muhammadiyah, di mana sang Ayah menjadi Pimpinan Ranting Muhammadiyah sementara Ibunya menjabat sebagai Pimpinan Ranting Aisyiyah di negeri Tanjung Bonai Lintau, Dusun Sembayan. Dengan acara yang sederhana, bayi itu diberi nama Akmal Thamroh.

Masa kecil Akmal diwarnai dengan nuansa keagamaan yang kental. Setiap malam, terdengar lantunan ayat suci Al-Quran memenuhi udara, memecah keheningan malam, ketika Akmal dan anak-anak sebaya lainnya belajar mengaji di surau kampung. Tidak hanya itu, dari pagi hingga petang, waktunya dipenuhi dengan belajar agama dan Bahasa Arab di sekolah, dari guru-guru yang bijaksana dan penuh dedikasi.

Tidur di surau bukanlah hal yang asing baginya. Setiap malam, setelah shalat Isya', mereka berbaris rapi, bersiap untuk tidur dengan sarung dan lengan sebagai bantal. Dan di bawah cahaya remang-remang lampu minyak, mereka berbagi cerita, tawa, dan doa sebelum terlelap dalam mimpi.

Ketika Akmal memasuki masa remaja, semangat keagamaannya tidak pudar. Meskipun tergoda dengan dunia akademis, dia tetap teguh pada prinsip dan nilai-nilai yang ditanamkan oleh keluarganya. Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya, dia melanjutkan pendidikan di Muallimin Muhammadiyah selama enam tahun. Aktif dalam kegiatan Ikatan Pelajar Muhammadiyah, dia tidak hanya mengejar ilmu pengetahuan dunia, tetapi juga ilmu agama dengan penuh semangat.

Namun, dunia memiliki rencana lain untuknya. Akmal memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi. Dia mulai kuliah di Fakultas Adab di IAIN pada pagi harinya, dan dalam waktu yang bersamaan belajar di Fisipol pada sore harinya. Namun, belajar di dua perguruan tinggi itu hanya bertahan hingga semester pertama.

Ketika itu, panggilan untuk melayani masyarakat semakin kuat. Dia pindah ke Perguruan Tinggi Islam di Sungayang Batu Sangkar, tempat dia menyelesaikan enam semester sebelum akhirnya mengabdikan dirinya sepenuhnya pada organisasi dan kegiatan sosial. Akmal terlibat aktif dalam berbagai organisasi seperti Ikatan Pelajar Muhammadiyah, Ikatan Pemuda Muhammadiyah, dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Tidak puas dengan itu, atas permintaan Kepala Kantor Departemen Sosial, dia mendirikan Karang Taruna di kampungnya, Sembayan.

Pada Januari 1978, Akmal ditugaskan untuk memimpin Karang Taruna tersebut. Kegiatan yang dilakukannya meliputi olahraga, pertukangan, keterampilan membuat kue, menjahit, dan menyulam. Namun, di antara semua itu, pengajian adalah kegiatan yang dianggapnya paling penting. Setiap minggu, semua anggota Karang Taruna berkumpul untuk mempelajari ajaran agama dan menguatkan iman.

Tidak puas dengan pengabdian di tingkat lokal, Akmal merasa panggilan untuk melayani lebih luas lagi. Pada bulan Mei 1978, dia menjalani pelatihan dari Depsos Sumatera Barat selama lima belas hari. Setelah lulus, dia dikirim sebagai tenaga relawan ke pelosok provinsi untuk membantu masyarakat terasing selama dua bulan. Di sana, dia membina dua desa di pinggir laut dan pedalaman, memberikan bantuan dan pembinaan kepada mereka yang membutuhkan.

Setelah menyelesaikan tugasnya sebagai relawan, SK pengangkatan Akmal sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) sudah dikeluarkan oleh Depsos Sumatera Barat, akan tetapi SK itu tidak diambilnya. Sebab di hari yang sama yakni  bulan Oktober 1978, dia mendapat panggilan tak terduga dari sosok yang sangat dihormatinya, Buya HAMKA.

Dengan hormat dan patuh, Akmal mengikuti perintah Buya HAMKA untuk menyiapkan dokumen-dokumen penting dan mengantarkannya ke Kantor Wilayah Muhammadiyah Sumatera Barat di Padang. Dia menjalankan tugas itu tanpa ragu, meskipun menyadari bahwa keputusannya itu akan mempengaruhi banyak orang di sekitarnya.

Selama proses pengerusan dokumen di Kantor Wilayah Muhammadiyah Sumatera Barat, Akmal sengaja menjalaninya dengan diam-diam, sebab dia tidak ingin membuat keluarga dan kawan-kawan seperjuannya di Karang taruna risau dengan rencana Akmal. Namun, setelah surat tugas mengikuti pelatihan muballigh turun dari Pimpinan Wilayah, seminggu sebelum keberangkatannya ke Jakarta, akmal akhirnya memberi kabar rencana keberangkatannya.

Hari itu, tanggal 30 Desember 1978, adalah awal dari perjalanan baru bagi Akmal. Dengan penuh harap dan semangat, dia berangkat ke Jakarta untuk mengabdikan dirinya pada perjuangan yang lebih besar, meninggalkan keluarga dan teman-teman yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupnya. Isak tangis keluarga, umi, ayah dan rekan-rekan seperjuangannya di Karang Taruna mengiringi kepergian Akmal untuk tugas baru yang lebih mulia. 

Tanggal 31 Desember 1978, sampailah Akmal di Kantor Pimpinan Pusat Muhammadiyah Jl. Menteng Raya 62 Jakarta Pusat, ditanah rantau meninggalkan kampung halaman untuk waktu yang entah berapa lama.

(Bersambung) klik untuk bagian 2 


Penulis : Khilmi Zuhroni