Pimpinan Pusat Nasyiatul Aisyiyah (PPNA) menyelenggarakan webinar dalam rangka semarak 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKtP) y...
Acara yang dilaksanakan melalui zoom tersebut memaparkan bahwa Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) seringkali terjadi
pada kalangan perempuan. Jika sebelumnya pelaku trafficking (perdagangan)
mayoritas merekrut korban dari wilayah pedesaan saja, namun dalam lima tahun
terakhir, masyarakat di perkotaan juga menjadi target sasaran.
Hal itu disampaikan oleh Koordinator Pelaksana Harian LBH APIK Indonesia, Khotimun Sutanti. Ia mengungkapkan bahwa perdagangan manusia (trafficking) tidak hanya menyasar kalangan berpendidikan rendah saja, melainkan juga menyasar sarjana dan orang-orang berketerampilan. Khotimun menjelaskan banyak faktor yang menjadikan perempuan dan anak mudah menjadi korban perdagangan, selain karena kemiskinan, mereka yang tinggal di daerah konflik juga rentan menjadi korban.
Dilansir dari nasyiah.or.id, minimnya literasi digital dan
keterampilan berpotensi menjadi target dari Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO)
tersebut. Dosen Universitas Muhammadiyah
Malang, Hutri Agustino, memperkuat hal ini “Perdagangan manusia ini juga
menyasar masyarakat yang minim literasi digital serta ketrampilan. Faktor ekonomi
mampu memicu seseorang rentan terjerat modus trafficking,” tuturnya.
Ia menambahkan, perdagangan orang sudah jelas diatur dalam
payung hukum UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang TPPO pasal 1 ayat 1. Dijelaskannya,
proses TPPO ini berawal dari upaya perekrutan, kemudian pengangkutan,
penampungan, pengiriman, pemindahan dan penerimaan. Korban seringkali terbujuk
rayu para broker tenaga kerja dengan iming-iming gaji yang tinggi.
"Seringkali polanya dijanjikan pekerjaan yang membuat
mereka kaya dengan cepat, dijanjikan dirayu menjadi pekerja migran di kota
besar. Mereka dipekerjakan di tempat-tempat hiburan, sebagai pengedar narkoba,
pekerja buruh migran, namun endingnya justru dieksploitasi secara fisik atau
seksual seperti dijadikan pekerja seks bahkan diperdagangkan organ
tubuhnya," tutur Hutri.
Sementara itu, Komisioner Komnas Perempuan Alimatul Qibtiyah
menyatakan pemerintah Indonesia sudah memiliki kebijakan terkait TPPO, akan
tetapi implementasinya belum maksimal. Indonesia, kata Alimatul, merupakan
negara yang sudah memiliki aturan dan praktik perlindungan bagi tenaga kerja
lokal maupun asing meskipun belum sesuai standar internasional.
"Komitmen negara terhadap TPPO sudah banyak dilakukan,
Indonesia ini masuk negara tingkat dua, yaitu negara yang memiliki aturan dan
melakukan praktik perlindungan kepada pekerja namun standarnya belum sesuai
standar internasional," tutur Alimatul.
Selain itu, Alimatul menjelaskan di abad 21 saat ini ada
seperangkat kecerdasan digital yang dapat digunakan untuk mengontrol dan
menguatkan nilai kemanusiaan.
Melalui pemanfaatan media digital, Alimatul mendorong semua
kalangan termasuk anak muda untuk meningkatkan skill digital kreatif sehingga
bisa menjaga nalar kritis terhadap fenomena sosial.
"Dengan itu (skill digital kreatif), kita bisa
menghasilkan kreatifitas yang berpeluang menjadikan kita lebih kritis, terjaga
dan mampu menangkal kejahatan-kejahatan yang tersebar melalui media,"
tukasnya.
Alimatul menegaskan, pencegahan TPPO tidak bisa hanya mengandalkan peran dan komitmen negara saja, melainkan harus melibatkan semua elemen untuk bergerak bersama. [K.Z]
Sumber: PPNA|nasyiah.or.id
Tidak ada komentar