Page Nav

HIDE

Pages

Ads Place

https://www.uhamka.ac.id/reg

Lawan Perdagangan Perempuan Dengan Perkuat Literasi Digital dan Skill

  Pimpinan Pusat Nasyiatul Aisyiyah (PPNA) menyelenggarakan webinar dalam rangka semarak 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKtP) y...


 Pimpinan Pusat Nasyiatul Aisyiyah (PPNA) menyelenggarakan webinar dalam rangka semarak 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKtP) yang dilaksanakan pada Sabtu (25/11/2023) lalu. Webinar tersebut menghadirkan tiga narasumber yakni: Prof. Alimatul Qibtiyah, Ph.D (LPPA Pimpinan Pusat Aisyiyah sekaligus Komisioner Komnas Perempuan), Hutri Agustino, M.Si (Dosen Universitas Muhammadiyah Malang, dan Khotimun Sutanti (Koordinator Pelaksana Harian LBH APIK Indonesia).  

Acara yang dilaksanakan melalui zoom tersebut memaparkan bahwa Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) seringkali terjadi pada kalangan perempuan. Jika sebelumnya pelaku trafficking (perdagangan) mayoritas merekrut korban dari wilayah pedesaan saja, namun dalam lima tahun terakhir, masyarakat di perkotaan juga menjadi target sasaran.

Hal itu disampaikan oleh Koordinator Pelaksana Harian LBH APIK Indonesia, Khotimun Sutanti. Ia mengungkapkan bahwa perdagangan manusia (trafficking) tidak hanya menyasar kalangan berpendidikan rendah saja, melainkan juga menyasar sarjana dan orang-orang berketerampilan. Khotimun menjelaskan banyak faktor yang menjadikan perempuan dan anak mudah menjadi korban perdagangan, selain karena kemiskinan, mereka yang tinggal di daerah konflik juga rentan menjadi korban.

Dilansir dari nasyiah.or.id, minimnya literasi digital dan keterampilan berpotensi menjadi target dari Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) tersebut.  Dosen Universitas Muhammadiyah Malang, Hutri Agustino, memperkuat hal ini “Perdagangan manusia ini juga menyasar masyarakat yang minim literasi digital serta ketrampilan. Faktor ekonomi mampu memicu seseorang rentan terjerat modus trafficking,” tuturnya.

Ia menambahkan, perdagangan orang sudah jelas diatur dalam payung hukum UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang TPPO pasal 1 ayat 1. Dijelaskannya, proses TPPO ini berawal dari upaya perekrutan, kemudian pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan dan penerimaan. Korban seringkali terbujuk rayu para broker tenaga kerja dengan iming-iming gaji yang tinggi.

"Seringkali polanya dijanjikan pekerjaan yang membuat mereka kaya dengan cepat, dijanjikan dirayu menjadi pekerja migran di kota besar. Mereka dipekerjakan di tempat-tempat hiburan, sebagai pengedar narkoba, pekerja buruh migran, namun endingnya justru dieksploitasi secara fisik atau seksual seperti dijadikan pekerja seks bahkan diperdagangkan organ tubuhnya," tutur Hutri.

Sementara itu, Komisioner Komnas Perempuan Alimatul Qibtiyah menyatakan pemerintah Indonesia sudah memiliki kebijakan terkait TPPO, akan tetapi implementasinya belum maksimal. Indonesia, kata Alimatul, merupakan negara yang sudah memiliki aturan dan praktik perlindungan bagi tenaga kerja lokal maupun asing meskipun belum sesuai standar internasional.

"Komitmen negara terhadap TPPO sudah banyak dilakukan, Indonesia ini masuk negara tingkat dua, yaitu negara yang memiliki aturan dan melakukan praktik perlindungan kepada pekerja namun standarnya belum sesuai standar internasional," tutur Alimatul.

Selain itu, Alimatul menjelaskan di abad 21 saat ini ada seperangkat kecerdasan digital yang dapat digunakan untuk mengontrol dan menguatkan nilai kemanusiaan.

Melalui pemanfaatan media digital, Alimatul mendorong semua kalangan termasuk anak muda untuk meningkatkan skill digital kreatif sehingga bisa menjaga nalar kritis terhadap fenomena sosial.

"Dengan itu (skill digital kreatif), kita bisa menghasilkan kreatifitas yang berpeluang menjadikan kita lebih kritis, terjaga dan mampu menangkal kejahatan-kejahatan yang tersebar melalui media," tukasnya.

Alimatul menegaskan, pencegahan TPPO tidak bisa hanya mengandalkan peran dan komitmen negara saja, melainkan harus melibatkan semua elemen untuk bergerak bersama. [K.Z]


Sumber: PPNA|nasyiah.or.id

Tidak ada komentar

Ads Place