Sampit – Sebuah pertanyaan mendasar akan dilemparkan ke publik pada Rabu malam (17 September 2025): “Kota Sampit, mau jadi apa?” Pertanyaa...
Majelis Daerah Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI)
Kotim melalui ForumKAHMI mengundang warga Sampit, mahasiswa, tokoh masyarakat,
komunitas, hingga pelaku usaha untuk hadir dalam diskusi publik perdana di
Warung Pisang Gapit, Gang Wika, Baamang Tengah. Acara akan dimulai pukul 19.00
WIB dan terbuka untuk umum.
Koordinator Presidium KAHMI Kotim, Freddy NT Mardhani,
menegaskan forum ini sengaja digelar di ruang publik yang akrab dengan
masyarakat. “Kami ingin membuka ruang dialog yang kritis sekaligus solutif.
Pertanyaan Sampit mau jadi apa? harus dijawab bersama, bukan hanya oleh
pemerintah,” ujarnya.
Menurut Freddy, masalah perkotaan seperti banjir musiman, penataan PKL, hingga minimnya
ruang terbuka hijau tak bisa lagi dipandang sebelah mata. “Kalau kita terus
membiarkan, kualitas hidup warga akan menurun. Karena itu, kami mengundang
siapa saja untuk hadir, menyampaikan gagasan, atau sekadar mendengar,” katanya.
Diskusi ini berangkat dari kenyataan sehari-hari warga
Sampit. Tata ruang yang belum jelas, drainase yang tidak memadai, hingga sampah
yang kerap menumpuk menjadi problem yang terus berulang.
Di sisi lain, wajah kota juga membutuhkan perhatian. “Sampit
perlu city branding. Identitas kota ini harus kuat, punya ruang publik yang
membanggakan,” Lanjut Freddy. 
Diskusi ini akan menghadirkan narasumber lintas sektor,
yakni: Lilis Indriani (dosen Politeknik Sampit), tokoh masyarakat sekaligus
pengamat sosial ekonomi, Drs. Burhanudin, MM, dan  Pemerintah daerah melalui Dinas Cipta Karya
Tata Ruang dan Pertanahan Kotim selaku pemberi perspektif resmi.
ForumKAHMI menegaskan, diskusi ini tidak akan berhenti pada
kritik. Output yang diharapkan adalah policy brief berjudul “5 Agenda
Besar Penataan Kota Sampit”. Dokumen itu berisi rekomendasi strategis untuk
pemerintah daerah dan DPRD.
“Kami tidak ingin sekadar mengeluh. Ada lima isu yang akan
dibedah: tata ruang, infrastruktur dasar, ruang publik, lingkungan, dan
sosial-ekonomi kota. Hasilnya nanti akan jadi rekomendasi nyata,” jelas Freddy.
Daftar undangan menunjukkan forum ini melibatkan puluhan
organisasi. Dari organisasi mahasiswa seperti HMI, PMII, GMNI, hingga IMM dan
KMHDI; dari BEM universitas di Sampit, komunitas peduli lingkungan, sampai
organisasi keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah.
Selain itu, organisasi profesi dan dunia usaha pun diajak
terlibat: KNPI, HIPMI, Kadin, PWI, bahkan lembaga adat dan ormas lokal seperti
DAD, Batamad, hingga Fordayak. “Artinya, ini forum lintas sektor. Semua pihak
punya kepentingan, semua bisa bicara,” kata Freddy.
Pemilihan lokasi diskusi di sebuah warung sederhana pun
punya pesan. “Kita ingin menunjukkan bahwa membicarakan kota tidak harus di
hotel berbintang. Justru di ruang publik seperti ini, masyarakat bisa lebih
leluasa bicara,” kata Freddy.
Dengan kapasitas 40–60 orang, forum diharapkan tetap hangat
dan interaktif. “Silakan datang, tidak harus diundang resmi. Siapa pun warga
Sampit yang peduli boleh hadir,” imbuhnya.
Diskusi publik ini menjadi tonggak awal ForumKAHMI. Ke
depan, agenda serupa akan rutin digelar setiap bulan dengan isu-isu turunan:
dari pengelolaan sampah, transportasi, hingga wajah estetika kota.
Freddy kembali menegaskan undangan terbuka bagi warga
Sampit. “Kalau kita ingin kota ini lebih baik, mari hadir, mari bicara. Jangan
hanya mengeluh di jalan atau media sosial. Di sini kita bisa berdiskusi,
mengkritik, dan memberi solusi,” katanya.
Diskusi malam Kamis ini diharapkan bukan sekadar pertemuan
wacana. ForumKAHMI ingin agar rekomendasi yang lahir benar-benar diperhatikan
pemerintah. “Kalau masyarakat kompak, suara ini akan kuat. Kita semua punya
tanggung jawab menentukan arah kota,” ujar Freddy.
Pertanyaannya kini: apakah masyarakat mau hadir, ikut
terlibat, dan bersama-sama mencari jawaban atas pertanyaan besar itu – Kota
Sampit, mau jadi apa? [Kz]


 
 
 
 
 
 
 
Tidak ada komentar