Page Nav

HIDE

Grid

GRID_STYLE

Pages

https://www.uhamka.ac.id/reg

Perjalanan Hidup Sang Muballigh (Bagian 3)

Akhir Maret 1979 tepatnya tanggal 28, saya menerima surat tugas penempatan dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk wilayah Kalimantan Tengah....



Akhir Maret 1979 tepatnya tanggal 28, saya menerima surat tugas penempatan dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk wilayah Kalimantan Tengah. Ada keinginan sebelum berangkat ke Kalimantan Tengah, saya ingin balik dulu ke kampung di Tanjung Bonai Sumatera Barat untuk pamitan dengan keluarga. Tapi saat menyampaikan keingin itu pada Buya Hamka, beliau melarangnya. “Tak usah engkau pulang Akmal, akan menambah beban batinmu nanti...lanjut lah ke Kalimantan, Insya Allah pada waktunya kelak engkau bisa kembali berkunjung keluarga di Tanjung Bonai…”

Minggu pertama 6 April 1979, saya bersama tiga orang teman yang mendapat tugas penempatan di Kalimantan Tengah bertolak dari Jakarta menuju Surabaya menggunakan lokomotif dari stasiun Pasar Senen Jakarta ke Stasiun Gubeng Surabaya. Sebuah perjalanan darat yang cukup lama, memakan waktu antara 12 hingga 15 jam. Memasuki gerbang stasiun, pedagang asongan berjejer di sepanjang peron, menjajakan berbagai macam makanan, minuman, dan barang dagangan lainnya kepada para penumpang yang menunggu. Bau wangi dari kopi panas, nasi goreng, dan makanan ringan tradisional menyatu dengan aroma asap rokok yang menggantung di udara. Para penumpang berdesak-desakan menuju pintu masuk, sibuk mencari tempat duduk atau tempat berdiri yang nyaman di dalam kereta. Beberapa dari mereka membawa koper besar atau keranjang berisi barang bawaan yang berat. Petugas stasiun berlarian ke sana kemari, menyelesaikan berbagai tugas seperti memeriksa tiket, membersihkan peron, dan memberikan informasi kepada penumpang. Suasana kegaduhan dan keceriaan menciptakan energi yang khas di stasiun ini, memancarkan semangat perjalanan dan petualangan yang tak terduga bagi semua yang berangkat.

Dari stasiun Senen, kereta berangkat serasa lambat membelah pulau Jawa. Setiap berhenti di stasiun, para padagang asongan berebut naik kereta untuk menjajakan jualanya. Tak jarang diantara mereka saling berebut pembeli. Petugas pemeriksa tiket berjalan mendesak diantara  penumpang yang berdiri dan pedagang asongan. Berganti stasiun, berganti pula pedagangnya. Ada yang naik dari sebuah stasiun lalu turun di stasiun berikutnya. Stasiun-stasiun kecil silih berganti di lalui. Kadang kereta melintas di perbukitan, di persawahan, perkampungan-perkampungan, menerobos terowongan, bahkan terasa seperti tinggi diatas jembatan sungai. Akhirnya, sekitar jam sebelas malam kereta sampai memasuki stasiun gubeng Surabaya.

Tanpa banyak menghabiskan waktu, usai makan di warung pinggir stasiun, kami segera melanjutkan perjalanan ke Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Malam hari kota Subaraya nampak sepi, tenang dan seperti mendebarkan. Hanya buruh angkut pelabuhan yang banyak beraktivitas mengangkut barang-barang dari pelabuhan ke atas kapal. Sesampai di pelabuhan, kami segera mencari kapal yang berangkat menuju Banjarmasin. Petugas mengarahkan kami pada sebuah kapal berukuran kecil yang penuh angkutan barang di dalamnya. Kapal  barang itulah yang mengantarkan kami dari Pelabuhan Surabaya ke Pelabuhan Banjarmasin.  

Tepat pukul 04.00 pagi dengan menggunakan kapal barang kami bertolak dari pelabuhan Surabaya mengarungi laut jawa yang luas menuju Banjarmasin. Beruntung ombak laut tidak begitu tinggi. Di tengah lautan luas tak nampak tepi,  kapal angkutan barang itu tetap miring ke kanan ke kiri mengimbangkan dirinya dari hempasan gelombang laut. Tak tahan menerima terjangan ombak, beberapa pemunpang akhirnya mabuk laut. Setelah 26 jam badan terombang-ambing di tengah lautan, lebih kurang pukul 06.00 pagi sampailah kami di Banjarmasin.  

Setiba di Banjarmasin, kami segera menuju ke kantor Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Kalimantan Selatan, dan menginap satu malam di sana. Pada masa itu Ketua PWM dijabat oleh Bapak Iskandar Hasan. Dari beliau kami banyak mendengar tentang perkembangan Muhammadiyah di Kalimantan Selatan, khususnya di kota Banjarmasin. Dengan penuh semangat, beliau juga memberikan arahan dan motivasi kepada kami agar betah dalam mengemban tugas dakwah di Kalimantan Tengah. Menurut beliau, medan dakwah di pedalaman Kalimantan Tengah jauh lebih sulit dari Kalimantan Selatan. Terlebih di daerah pedalaman Kalimantan Tengah akan berhadapan dengan masyarakat yang masih minim dalam mengenal Islam, apalagi akhir-akhir ini gencar dilakukan misi kristenisasi (zending) pada masyarakat pedalaman Kalimantan.     

Keesokan harinya, PWM Kalsel memberikan tumpangan kepada kami menuju kota Palangkaraya dengan taksi air (kapal motor) menempuh perjalanan menyusuri sungai Kapuas dan sungai Kahayan. Menurut penuturan pengemudi taksi, sungai Kapuas membentang sepanjang kurang lebih 610 km, dari kecamatan Kapuas Hulu sampai kecamatan Selat yang akhirnya bermuara di laut Jawa. Sedangkan sungai Kayahan adalah sungai yang membelah kota Palangkaraya. Sungai ini melintasi di 3 kabupaten/kota antara lain Kabupaten Gunung Mas, Kota Palangkaraya, dan Kabupaten Pulang Pisau, bermuara di Laut Jawa juga. Sungai Kahayan memiliki panjang lebih dari 600 km. Untuk sampai ke Palangkaraya, taksi air menyusuri sungai Kapuas kemudian mengambil anak sungai yang menghubungkan dengan sungai Kahayan.

Selama perjalanan, sangat jarang ketemu dengan perkampungan, yang ada hanya hutan hijau nan tinggi dan belukar-belukar rawa sungai. Sesekali terlihat perkampungan dan aktivitas masyarakat di pinggir sungai, sebentar kemudian hutan lagi. Sambil menikmati pemandangan yang kiri kananya penuh pepohonan hutan yang hijau, hati ini bertanya pada diri sendiri “Mau Kemana Kau ini ?” Begitu sambil bercanda dengan teman-teman, ada juga teman dari Sumatera Barat dan Flores NTT, menjawab “Rasanya saya betah disini”.

Mendengar itu, saya hanya berdiam. Yang ada di pelupuk mata saya adalah ayahanda AR Fachruddin, Buya Hamka, dan Buya Malik Ahmad. Kata demi kata mereka masih terngiang di telinga. Nasihat-nasihat mereka menyiratkan sepertinya sangat berat nian medan dakwah yang akan saya hadapi. Makin mendalam mengingat kata-kata mereka, makin jelas wajah-wajah teduh dan keikhlasan mereka dalam mengamban amanah membesarkan persyarikatan. Makin jelas wajah mereka dalam ingatan, makin teringat hati ini dengan umi, Bapak, dan teman-teman sepermainan di kampung. Tanpa sadar, tarikan nafas panjang mengeluarkan kalimat “Ya Allah Rabbul Alamin…kekuatan dan ketenangan akan dapat kami peroleh hanya dari Engkau Ya Allah….”

Setelah menempuh perjalanan sungai lebih kurang 20 jam, jam 06.30 tanggal 13 April 1979 kami sampai di Pelabuhan Rambangan Palangkaraya. Penumpang satu per satu turun dari kapal menuju ke rahibaan masing-masing. Hanya kami sementara berada dalam kebingungan. Dari siang hingga malam dalam perlajanan sungai, membuat kami seperti tak tahu lagi arah.  Pelabuhan kian mulai sepi, sedang kami masih duduk-duduk di pinggir sungai. Kemana arah yang harus kami tuju. Kami saling menatap, tak ada seorang pun yang memberi jawaban.   

Di saat kami saling menatap, datang seseorang menghampiri kami sambil mengucapkan salam. Dia kelihatannya dalam kondisi keraguan melihat kami. Mungkin karena kami tak nampak berpenampilan sebagaimana umumnya para muballigh. Rambut yang sedikit panjang dengan cara pakaian kami yang seperti masyarakat pada umumnya. Baju lengan panjang dengan dada terbuka dan celana komprang model ye’-ye’ yang bagian bawahnya mengipasi jalan. Dengan mengucap salam orang itu bertanya :”Apakah bapak-bapak ini kelompok bapak Akmal ?, Sontak saya jawab “Waalaikumussalam… Iya saya sendiri pak “. “Bapak-bapak sudah lama kah ?” tanyanya lagi. “Ya…lebih kurang 60 menit kami sandar tadi pak.. ” Jawab teman saya. Akhirnya berbasa basi kami ngobrol bertanya kabar, perjalanan dan sebagainya. Setelah saling memperkenalkan diri, ternyata dia Ketua Pemuda Muhammadiyah Palangkaraya Bapak Imam Mardhani. Selain menjabat ketua Pemuda Muhammadiyah, Bapak Imam Mardhani juga sebagai sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Kalimantan Tengah. Kami pun dibawanya ke rumah salah seorang Bendahara Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Kalimantan Tengah.

Setelah 3 hari tinggal di rumah bendaraha Muhammadiyah, kami lalu dipindahkan ke sebuah penginapan dekat bioskop. Sesuai dengan arahan Pimpinan Pusat saat pelatihan muballigh, setiba di Kalimantan Tengah, kami menyampaikan laporan tugas ke kantor Gubernur, Departemen Agama Provinsi, Departemen Sosial, dan lapor ke Kepolisian. Alhamdulillah laporan berjalan baik-baik saja.

Disela-sela menunggu pembagian tugas penempatan ke pedalaman, waktu yang cukup banyak itu kami gunakan untuk silaturrahim dengan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah, dan memberikan tausiyah pada Pemuda Muhammadiyah serta bersilaturrahim dengan Forum Konsultasi Dakwah Islam (FKDU) Palangkaraya yang dipimpin oleh Abdul hadi Bondo. Dari perbincangan-perbincangan itu ada yang sempat menyampaikan tentang kondisi Muhammadiyah di beberapa daerah, tentang adanya kubu-kubu dalam kepengurusan dan sebagainya. Tapi kami tak ambil pusing dengan semua itu. Tujuan kami adalah dakwah khususnya di daerah terasing dan pedalaman.

Hasil rapat PWM Kalimantan Tengah yang dipimpin oleh Ketua PWM Amberi Lihi terkait penempatan para muballigh, diputuskan 3 orang berangkat ke daerah sungai Katingan, yakni Srd. Wirman (asal Sumareta Barat) yang ditempatkan Tumbang Samba, Sdr. Syahmi (Asal Sumareta Barat) lokasi Tumbang Senamang dan Sdr. Sarimin RD   (Asal NTT) ke daerah Kasongan, Sedangkan saya (Akmal Thamroh) ditunjuk ke daerah Sungai Menyata Sampit.

Selanjutnya mereka bertiga (Wirman, Syahmi dan Sarimin RD) diantar oleh Sdr. Abdul Hadi Bondo ke lokasi penempatannya di daerah sungai Katingan. Sedangkan  saya dikirim seorang diri ke Sampit  diikutkan salah seorang anggota DPR RI Bapak H. Ruslan Kasmiri dengan menggunakan pesawat das yang hanya muat enam orang. Sebelum berangkat, ayahanda Amberi Lihi berpesan kepada Bapak H. Ruslan agar nanti sesampai di Sampit, saya diantarkan ke tempat Bapak H. Usman pemilik hotel Aletha depan gereja jalan Kelapa Sawit (sekarang-Jl. S. Parman).

Tepat tanggal 25 April 1979 saya sampai di Sampit. Dari Palangraya pesawat das itu mendarat di bandara kecil H. Asan. Turun dari pesawat kami melanjutkan perjalanan ke Kota Sampit dengan menggunakan speedboat menuju pelabuhan pasar. Dan dari pelabuhan kami berjalan kaki melewati jalan Kelapa Sawit ke hotel Aletha milik Bapak H. Usman.

Di hotel milik Bapak Usman itulah saya tinggal untuk sementara waktu. Bapak H. Usman adalah sosok yang sederhana, beliau termasuk orang yang sangat sibuk yang bekerja sebagai tenaga kesehatan. Meskipun begitu, beliau termasuk orang yang sangat disegani karena kebaikannya. Beliau banyak membantu orang yag membutuhkan. H. Usman termasuk pengurus Muhammadiyah Cabang Sampit walaupun tidak memiliki SK. Saya diterima beliau dengan sangat ramah dan baik. Dimintanya saya sementara tinggal di tempatnya. Semua makan dan kebutuhan beliau sediakan. Keakraban saya dengan beliau dan istrinya, seperti membuat saya menemukan sosok umi dan bapak dalam diri mereka.

Selama di tinggal Sampit, saya kembali berurusan untuk melaporkan diri saya ke kantor Bupati (Bapak Andjar Soeganto), Departemen Agama (Bapak Sirih Ilyas) dan lapor ke Departemen Sosial (Bapak Imam Muhajad). Alhamdulillah semua laporan berjalan lancar. Terakhir menyampaikan laporan ke Polres Kotawaringin Timur dimana saat di Polres ada sedikit kendala. Hal ini dapat dimaklumi karena Kapolresnya berasal dari NTT yang saat itu termasuk bagian dari misi zending juga. Namun saya tidak ambil pusing dengan semua ucapan kapolres. Banyak dia bertanya tentang tujuan, misi dan berbagai macam pertanyaan, yang ujung-ungnya meminta saya agar tidak jadi melanjutkan dakwah di daerah sungai Mentaya. Saya tidak bergeming mendengarkan mendengarkan semua ucapannya. Dengan memegang prinsip dan semboyan orang Minang “Dengar kata orang, Kerjakan kehendak kita,” saya tetap memberikan laporan sesuai prosedur yang diminta.

Hasil dari laporan kepada kapolres itu saya sampaikan kepada Bapak H. Usman. Saya kasihan melihatnya yang seperti kebingunan menerima laporan itu yang sekaligus kebingungan perihal apa yang mau disampaikan ke saya, karena Kapolres pada prinsipnya meminta agar saya kembali ke Jakarta. Saya sampaikan kepada Bapak H. Usman yang sudah saya anggap sebagai bapak sendiri. “Bapak tak perlu khawatir, saya akan tetap berada di wilayah Kotawaringin Timur untuk melaksanakan amanah Pimpinan Pusat Muhammadiyah, masalah resiko itu sudah biasa dalam beramar ma’ruf nahi mungkar , Insya Allah akan saya hadapi segala resikonya.” Mendengar ketegasan saya, ibu (isteri bapak H. Usman) menangis. Saat itu dalam hati saya bertanya kemana pengurus Muhammadiyah yang lain, sebab selama berhari-hari di sampit hanya keluarga Bapak H. Usman yang saya temui.  

Setelah 15 hari tinggal di Sampit, ada info bahwa saya akan diambil oleh Bapak Basnudin Astor, Kepala Desa Tanjung Jariangau. Empat hari sebelum keberangkatan saya ke Tanjung Jaringau, saya diperkenalkan di SMP dan SMA Muhammadiyah 1 Sampit. Sesampai di sana saya seperti diuji oleh yang memimpin dua sekolah itu (Bapak H. Habani) dimana saya disuruh memberikan ceramah tentang Muhammadiyah dan Islam. Saya pun menuruti permintaan beliau, namun dalam hati saya merasa ada yang kurang pas dengan situasi ini. Seperti ada kesan sedikit meremehkan saat menguji saya, tapi biarlah sebagai orang baru saya ikuti semua permintaannya.

Setelah kembali ke hotal Aletha, saya ceritakan kejadian tadi dan perasaan saya kepada Bapak H. Usman dan  Isterinya, keduanyapun hanya menanggapinya dengan senyum simpul. Lalu saya bertanya siapa Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) sebab saya mau melapor. Beliaupun menjawab bahwa Ketua PDM adalah Bapak H. Soedjak di jalan Gator Soebroto.

Keesokan harinya saya diantar ke rumah PD Muhammadiyah menggunakan ojek. Sebelum berangkat bapak H. Usman berpesan kepada saya : “Kalau Bapak H. Soedjak bertanya dimana kamu menginap, jangan dikatakan menginap disini. Dan kalao beliau bertanya sudah ketemu dengan H. Habani, bilang saja belum ketemu”. Pesan orang tua angkat saya seperti menyiratkan seperti ada sesuatu yang tidak baik-baik saja di Pimpinan Muhammadiyah Sampit.

Selepas shalat ashar, saya menghadap Ketua PDM, Bapak H. Soedjak,  dia rumah beliau yang sekaligus menjadi Kantor PDM. Melaporkan diri saya sekaligus meminta arahan dan bimbingan terkait tugas saya dari PP Muhammadiyah. Arahan dan bimbingan beliau sangat baik penuh semangat untuk Muhammadiyah. Sambil meneguk secangkir teh yang beliau suguhkan, saya mengucapkan terima kasih dengan semangat dan do’anya. Saya pun mohon pamit sebab  besok akan segera berangkat ke Tanjung Jaringau. Sebagai penutup pertemuan itu, beliau menyampaikan kepada saya “Semoga selamat sampai tujuan dan selamat bertugas. Dan, adik tidak tahu bahwa “Irak dengan Iran saai ini sedang perang”. Saya pun berlalu dengan tidak menanggapi kalimat terakhir, kecuali nasihat dan arahan beliau. Walaupun kalimat terakhir itu tetap manjadi catatan dan pertanyaan dalam hati tentang makna perangnya “Irak dan Iran” tersebut.

Tanggal 14 Mei 1979 saya diambil oleh Bapak Basnudin Astor (Kepala Desa Tanjung Jaringau) di hotel Aletha dan diantar ke kapal motor milik abangnya Bapak Sian Astor. Pada saat dijemut, saya pun berpamitan kepada keluarga Bapak H. Usman. Agaknya beliau merasa berat melepas keberangkatan saya. Beliau menginginkan agar saya tetap tinggal di Sampit, tapi saya sedikit menolak sebab dalam fikiran saya sudah ada sedikit gambaran tentang Muhammadiyah di Sampit. Sinyal itu sudah saya tangkap saat di Palangkaraya. Sesuai amanah Pimpinan Pusat, tugas saya adalah dakwah untuk masyarakat pedalaman, masyarakat terasing agar mengenal Islam sesuai dengan sumbernya Al Quran dan Al Hadits.

Kepergian saya  ke Tanjung Jariangau, terasa berat di lepas oleh H. Usman dan Istrinya yang keduanya sudah menjadi orang tua angkat saya. Beliau berpesan “Jangan segan-segan untuk datang ke rumah kalo ada kesempatan. Anggaplah kami sebagai orang tuamu sendiri…”    

Tepat jam 11.00 siang kapal motor itu berangkat meninggalkan Sampit menyusuri Sungai Mentaya. Sebuah sungai yang panjang, penuh misteri, dan mendebarkan. “Entah berapa sungai lagi yang harus saya lalui…berapa riam lagi saya temui…mudahkan jalan ini Ya Allah…”. Setelah lebih kurang 19 jam perjalanan di atas sungai, akhirnya sampai juga di Tanjung Jaringau pada 15 Mei 1979 jam 06.00 pagi.

(Bersambung)

Klik disini untuk ke bagian 1

Klik disini untuk ke bagian 2


Penulis : Khilmi Zuhroni