Jakarta masih cukup pagi, saat saya dan temen-temen dari Sumatera Barat sampai di pelabuhan Tanjung Periok. Pelabuhan yang sangat sibuk. Akt...
Dari pelabuhan
Tanjung Periok segera kami berangkat menuju tempat tujuan dengan menggunakan
bajaj. Kendaraan khas kota-kota besar, khususnya di Ibu Kota. Ya, bajaj. Dengan
itulah kami melanjutkan perjalanan ke kantor Pimpinan Pusat Muhammadiyah di
jalan Menteng Raya 62 Jakarta Pusat.
Sampai di depan kantor PP Muhammadiyah, bajaj pun berhenti. Kami turun dari bajaj dengan
membawa barang masing-masing memasuki kantor. Sebuah bangunan yang sederhana,
dengan cemara-cemara kecil setinggi dua meteran berjejer di depan pintu masuk gedung.
Di hampir seluruh halaman dipenuhi rerumputan
separuh kering dan tanah kerikil dari gerbang menuju pintu. Tiang bendera
dengan besi kecil agak sedikit kusam berdiri tegak di tengahnya. Di depannya, persis
di samping pintu pagar halaman terpampang papan bertulis : PIMPINAN PUSAT
MUHAMMADIYAH DI JAKARTA Jl. menteng raya no.62 tel. 331363.
Tanggal 3
Januari 1979, seluruh peserta yang mengikuti kegiatan pelatihan muballigh dikumpulkan.
Ada sebanyak 140 orang dari berbagai perwakilan wilayah se Indonesia. Kami sendiri
dari Wilayah Sumatera Barat sebanyak 9 orang, yang semuanya merupakan lulusan
mualimin/kuliyatul muballighin Muhammadiyah dan sekaligus berasal dari
Universitas Muhamadiyah Padang Panjang Sumatera Barat. Peserta lain, sebagian
dari Jawa, Sulawesi, Ternate, dan Wilayah Muhammadiyah yang lain.
Oleh
koordinator BDBMT, Bapak Anhar Burhanuddin, MA kami diberikan pengarahan
tentang apa tujuan dari pendidikan dan pelatihan muballigh/dai ini, yakni diantaranya persiapan untuk
diterjunkan ke daerah-daerah terasing. Oleh karenanya, kami diminta untuk
sungguh-sungguh dalam mengikuti semua sesi Pelatihan, kerjasama yang baik dan saling
mengingatkan sehingga pelatihan akan berjalan dengan maksimal. Sebab,
menurutnya medan yang akan kami hadapi kelak sangat berat, yakni masyarakat
terasing, masyarakat pedalaman.
Pada hari
keempat, atas arahan ketua pelaksana kegiatan, kami diminta membentuk koordinator
peserta selama pendidikan dan pelatihan yang nantinya bertugas mengkondisikan
peserta selama kegiatan. Setelah diskusi dan pemilihan yang cukup rumit, sebab
sama-sama ingin menghindarkan diri dari tugas, maka terbentuk susunan pengurus
/koordinator peserta sebagai berikut : Ketua : Akmal Thamroh (Sumatera Barat),
Seksi Dakwah : Abdurrahman (Jawa), Seksi Olahraga : Mukhtar (Sulawesi), dan
Seksi Ibadah : Zainudin Zen (Ternate). Diakhir pemilihan, Bapak Rusydi Malik,
MA menegaskan agar koordinator peserta betul-betul bertanggung jawab untuk
melaksanakan tugasnya, sehingga pendidikan dan pelatihan berjalan dengan baik,
serta agar semua peserta yang lain, mengikuti arahan koordinator yang sudah
ditetapkan.
Tanggal 5
Januari 1979, semua peserta diberangkatkan menuju Pesantren Darul Falah di Ciampea
Kabupaten Bogor untuk mendapatkan pelatihan selama satu bulan. Sejak hari
pertama datang, setelah istirahat sekadarnya, kami terus digembleng berbagai
keterampilan hidup untuk menyiapkan diri ditengah-tengah masyarakat pedalaman.
Ir. Mujahid dan Ir Mujadid, tak henti-hentinya memberikan bimbingan berbagai keterampilan
pada kami. Mulai dari bimbingan pertanian, dengan beragam teknik dan kondisi
alam yang akan dihadapi. Cara menanam berbagai sayuran, kacang-kacangan, sampai
tanaman-tanaman keras. Cara pemupukan yang benar, perawatan, panen dan
sebagainya. Selanjutnya, kami juga dilatih bagaimana membuat dragon untuk
memompa air, membuat sabun mandi, membuat kecap, membuat tempe, tahu, gorengan
dan sebagainya.
Selain pelatihan
keterampilan hidup, disela-sela kegiatan bimbingan keislaman juga diberikan. Dimana
yang bertugas untuk membimbing keislaman yakni: Bapak Anhar Burhanudin, MA.,
Bapak Rusydi Malik, MA., dan Bapak Drs. H. Rusydi Hamka. Sesuain dengan jadwal untuk
pagi hingga siang, diberikan pelatihan keterampilan, sedangkan untuk sore dan
malam bimbingan keislaman. Selama pelatihan, untuk bagian khutbah setiap hari Jum’at
ditugaskan kepada peserta dari Sumatera Barat.
Tak terasa,
sebulan sudah pelatihan di Pesantren Darul Falah Ciampea Bogor berjalan. Berbagai
keterampilan hidup telah kami dapatkan. Disetiap kegiatan, pembimbing kami,
Bapak Anhar Burhanudin, MA senantiasa berpesan agar setiap materi keterampilan
itu betul-betul dipahami, sebab selain bekal keislaman yang harus diperkuat,
bekal keterampilan hidup juga sangat penting. Jangan sampai saat sudah bertugas
nanti, ada muballigh yang pulang kampung sebab jauh dari perkotaan, jauh dari
keramaian pasar. Karenanya, bekal keterampilan itu penting untuk bertahan hidup
di daerah-daerah terpencil.
Tanggal 7
Februari 1979, semua peserta kembali ke Menteng Raya Jakarta untuk mengikuti
lanjutan pendidikan dan pelatihan muballig. Di sinilah saya merasa betul-betul
digembleng, diisi dengan materi-materi yang diperlukan sebagai seorang muballigh.
Para pemateri yang selama ini hanya saya dengar dari cerita guru-guru di
kampung dan berita-berita di koran, hadir di tengah-tengah kami. Betapa saya
merasa sangat hormat dan kagum kepada mereka selama ini. Sungguh tidak
menyangka, Allah mempertemukan saya dengan tokoh-tokoh ini.
Satu bulan
semua materi itu diberikan secara bergantian dari mulai jam 7 pagi sampai jam
11 malam. Tak hanya itu, sebagaimana umumnya dalam pelatihan di Muhammadiyah,
kami juga diwajibkan shalat malam dan mengisi kultum subuh secara bergantian. Hampir
semua peserta mengikuti semua materi dengan seksama, berdiskusi, berdebat hal-hal
yang berseberangan pemahaman, bertanya kepada para pakarnya. Hampir tidak ada
materi yang berjalan tanpa ada pertanyaan dan diskusi di dalamnya. Termasuk strategi-strategi
menghadapi lawan debat yang berbeda pandangan dan paham keagamaan, strategi membangun
organisasi, memulai dakwah, menghadapi penolakan masyarakat, strategi menemui
tokoh penting dalam masyarakat dan sebagainya.
Akhirnya, Tanggal
8 Maret 1979 usai sudah pelatian dan pendidikan muballigh selama dua bulan. Meskipun
sudah digembleng demikian hebat, saya dan teman-teman tetap merasa deg-degan
menunggu pembagian lokasi penempatan. Sebab sesuai dengan penyelenggarannya, BDBMT
(Badan Dakwah Bimbingan Masyarakat Terasing), sudah tentu lokasi-lokasi
terasing itulah yang akan kami tuju. Kegiatan pendididan dan pelatihan pun
resmi di tutup oleh Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Bapak AR Fachrudin di Gedung
Juang Menteng Jakarta Pusat yang dihadiri oleh Bapak Jenderal Tri Sutrisno.
Dalam sambutannya, ketua PP Muhammadiyah berpesan, agar dalam berdakwah
mengutamakan hikmah, kebaikan. Yakni dengan cara yang baik, bahasa yang baik,
juga etika dan akhlak yang baik. Dakwah itu hal yang sangat baik, janganlah
disampaikan dengan cara-cara yang kurang baik. Sampaikan misi dakwah Muhammadiyah
ke pelosok-pelosok dengan baik, sehingga masyarakat mau menerima paham Islam Muhammadiyah.
Selesai
penutupan, sebagian kawan-kawan yang berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Barat
telah kembali ke wilayahnya masing-masing sesuai dengan tugas penempatannya. Sementara,
muballigh luar pulau Jawa, masih bertahan menunggu wilayah penunjukan yang
disusun oleh Ketua BDBMT bersama Sekretaris PP Muhammadiyah, Bapak H. Romli Thoha,
SH.
Tanggal 22
Maret 1979, rampung semua penempatan dai
ke wilayah penunjukkan yakni daerah-daerah di luar pulau Jawa. Dalam penempatan
tersebut, ternyata kami dari Sumatera Barat hanya satu orang yang kembali ke
pulau Sumatera, yakni di Provinsi Riau, sementara yang lain termasuk saya,
ditempatkan di wilayah-wilayah yang dianggap berat misi kristenisasinya
(zending). Adapun, muballigh-muballigh yang lain, hampir semua mereka kembali
ke wilayahnya masing-masing, dengan penempatan yang sama yakni masyarakat
terasing dan pedalaman.
Setelah
para muballigh dari Jawa kembali ke wilayahnya masing-masing, dai yang berasal
dari luar Pulau Jawa dilepas secara langsung oleh PP Muhammadiyah Bapak AR
Fachruddin, Buya Malik Ahmad, Buya Hamka, Buya Sutan Mansur, Bapak Projo
Kusumo, Drs. H. Lukman Harun, dan Bapak Kasman Singodimejo, serta Ketua BDBMT
Bapak H. Anhar Burhanuddin, MA. bertepatan tanggal 26 Maret 1979 di Gedung PP Muhammadiyah
Jakarta Pusat.
Selesai
shalat ashar, saya sangat kaget karena saya dipanggil oleh Buya Malik Ahmad ke
ruangan PP Muhammadiyah. Ketika sampai di ruangan PP, saya terperanjat sebab di
dalamnya sudah ada Ayahanda AR Fachruddin, dan Buya Hamka. Antara sedih dan
bergetar raut muka mereka memandangi saya yang datang. “Duduklah ananda Akmal” kata
Buya Malik. “Iya buya” saya pun duduk di hadapan mereka bertiga.
Dengan nafas
yang cukup berat, ayahanda AR Fachruddin mulai menyampaikan: “ Pasangkan niat
ikhlas dalam bertugas, sebab BDBMT PP Muhammadiyah hanya dapat memberi biaya
hidup sekadarnya. Semoga Allah meridloi langkah ananda Akmal”. Dengan dada
seperti mau meluapkan sesuatu saya mendengarnya dengan tertunduk. Buya Hamka pun
menambahkan: “Hari esok dan yang akan datang adalah milik Allah, jangan
lalaikan. Berdakwahlah kepada siapa saja. Masalah diterima atau tidak kewajiban
Akmal sudah dilaksanakan.” Saya semakin tertunduk, terasa semakin menyesak di
dada, air mata mulai tak mampu terbendung manakala Buya Malik Ahmad menyampaikan
: “Perkuat tauhid, istiqamah. Berdakwahlah sesuai pokok Al Quran dan As Sunnah,
bawahlah masyarakat paham tentang agama…” Sambil dengan isak tangis saya
mengiakan semua nasihat para guru yang sudah seperti orang tua saya sendiri.
Dalam wajah
yang terasa berat diangkat, dengan isak tangis mendengar setiap nasihat mereka,
ingatan saya tertuju pada umi, ayah, keluarga dan teman-teman yang melepas saya
di pelabuhan Teluk Bayur Kota Padang saat hendak menuju Jakarta. Dimana saat
itu tepat jam 15.00 WIB pluit kapal berbunyi. Para pemunpang berangsur naik
kapal. Saya dipeluk umi dengan derai air mata begitu juga yang lain. Umi
memasukkan selembar kertas ke dalam saku baju saya. Mereka saya suruh pulang
dulu, sebelum saya naik kapal. Diatas kapal, saya dengan teman-teman sesama
peserta yang berasal dari Sumatera Barat cari tempat untuk menempatkan barang
dan tidur. Kapal bergerak keluar dari pelabuhan teluk bayur. Matahari sudah
mulai turun ke permukaan laut. Saya duduk di palka bagian depan sambil
memandang lautan lepas. Sebelah dari kejauhan kelihatan pulau Pandan dan pulau Kelapa.
Sedangkan di hadapan kejauhan sana
terbentang bukit barisan yang membentang sepanjang pulau Sumatera.
Saya buka
selembar kertas yang diberikan umi, dengan gaya bahasa minang umi menulis:
Akmal anak umi,
Bertolaklah dari armadamu, menuju kanca-kanca
perjuangan
Ingat nak ! laut sakti, rantau bertuah
Orang tua cari dahulu, dun sanak dicari pula
Kewajiban yang dititip Allah jangan diabaikan
Tengadahkan mukamu, angkat kedua tangan, dan
buka mulut mu nak, seraya berdoa kepada yang Kuasa,
Umi hanya mengiringi dengan doa, sampai di
tempat jangan lupa beri kabar umi dan bapak di kampung.
Umi
Rohanah.
(Bersambung)
Klik disini untuk lanjut bagian 3
Penulis : Khilmi Zuhroni
Tidak ada komentar